Rabu, 26 November 2014

Sumber Hukum Perbankan Syariah




SUMBER HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Matakuliah Hukum Perbankan Syariah
Dosen Pembimbing:

Disusun Oleh:
Tajul Muttaqin
K O N S E N T R A S I   P E R A D I L A N   A G A M A VIB
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431H/2010M

DAFTAR ISI
Daftar Isi.......................................................................................................................1
BAB I Pendahuluan.....................................................................................................2
BAB II Pembahasan
Sumber Hukum Perbankan Syariah.........................................................................4
A.    Al-Qur.an..........................................................................................................5
B.     Hadits Nabi.......................................................................................................7
C.     UU Perbankan...................................................................................................7
Daftar Pustaka...........................................................................................................15





















BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum berbicara mengenai sumber hukum perbankan syariah perlu kiranya di ketahui alasan-alasan yang menyebabkan suatu bank syariah itu berdiri. Unsur yang peling jelas dan menonjol di karenakan adanya unsur riba dalam suatu bank konvensional. Adapun hukum riba tersebut jelas haram kedudukannya dalam Islam
          Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas dengan kandungan maka yang pasti (qath’i).
 Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278

























BAB II
PEMBAHASAN
Seteah di atas dijelaskan tentang alasan-alasan perbankan syariah itu berdiri, yangmana salah satunya adalah menghindari dari perbuatan yang mengandung riba, karena jelas selaki Allah SWT dan Rasulnya mengharamkan riba.
Pada bank-bank syariah tidak ditemukan konsep bunga, akantetapi dalam bank-bank syarah itu menggunakan konsep bagi hasil, dan bank-bank syariah itu bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, dan UU Perbankan. Adapun sumber-sumber dari hukum perbankan Syari’ah itu adalah sebagai berikut:
1.    Firman Allah
a.Surat Al-baqarah ayat 275
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
b. Surat  Ali imron  ayat 130
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

c. Surat Al- Baqoroh ayat 278
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.


2.Hadis Nabi Muhammad SAW:
من أ سلف فليسف في كيل معلو م و و ز ن معلو م إ لى أ جل معلو م ( ر و ا ه ا لبخا ر ي و مسلم )                          
Artinya:Barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan takaran, timbangan dan djangka waktu yang pasti.” ( HR. Bukhari dan Muslim )[1]
3. UU Perbankan
Bank syari’ah secara yuridis normative dan yuridis empiris diakui keberadaannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan  di Indonesia, diantaranya, Undang-Undang  No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No 10 tentang perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1998, tentang Perbankan, Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang perubahan  atas Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No 3 Tahun  2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang  No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syari’ah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syari’ah (bank syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan semacamnya). Pengakuan secara yuridis dimaksud member peluang tumbuh dan berkembang secara luas kegiatan usaha perbankan syari’ah, termasuk memberi  kesempatan kepada bank umum (konvensional) untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usha berdasrkan prinsip syari’ah[2].
Selain itu perlu diungkapkan bahwa kebiasaan atau tradisi hukum di Negara Republik Indonesia dalam membut rancangan undang-undang di zaman orde lama dan awal orde baru tidak pernah terdengar kata “syari’at”. Kata “syari’at” itu baru muncul ketika rancangan undang-undang perbankan diusulkan menjadi undang-undang di zaman di zaman akhir orde baru dan zaman awal reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa pihak eksekutif dan  legislative memahami aspirasi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim sehingga menyiapkan perangkat hukum yang berkaitan dengan persoalan hukum perbankan dan produk-produknya. Oleh karena itu, hukum perbankan yang menggunakan prinsip-prinsip syari’ah itu baru ada pada tahun 1992 di Indonesia, yaitu Bank M uamalat Indonesia (BMI). Bank muamalat dimaksud, sejak berdiri tahun 1992 sampai 1998 masih menjadi permainan tunggal dalam dunia perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah dan ditambah 78 BPR Syari’ah di Indonesia.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensial saat itu berjumlah 240 mengalami negative spared yang berakibat pada likuidasi, kecuali perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah. Pada bulan November 1997, 16 bank di tutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, selanjutnya 55 buah bank masuk kategori  BTO dalam pengawasan BPPN. Namun, kondisi ini bebeda dengan perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah. Hal ini disebabkan oleh bank syari’ah  tidak dibebani oleh nasabah membayar bunga simpanannya, melainkan bank syari’ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan yang diperoleh dalam sisitem pengelolaan perbankan syari’ah. Sisitem bagi hasil tersebut jelas bahwa perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah dapat selamat dari negative spared, sednagkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI). Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah,niscaya bank konvensional gulung tikar karena dilkuidasi.
Bantuan dana atau suntikan dana dari pemerintah kepada perbankan konvensional dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermasalah, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung untuk melanjutkan penyelesaian 16 buah kasus pelanggaran nonkooperatif Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (selanjutnya disebut BLBI). Hal dimaksud, dikemukakan oleh jaksa Agung Hendarman Supandji seusai bertemu Presiden SBY pada hari kamis tanggal 8 November 2007 di Jakarta[3].
Akibat dari suntikan dana dimaksud , Jaksa Agung mengemukakan bahwa ada 16 kasus BLBI dengan nilai Rp 144,5 triliun yang ditangani oleh kejaksaan. Perincian kasus dimaksud, diantaranya 3 buah kasus dalam tahap penyelidikan, 7 kasus lainnya sudah dijatuhi hukuman, dan 2 kasus menunggu penyelesaian dari pihak Menteri Keuangan. Selain iu, perlu diungkapkan bahwa pada masa krisis moneter belangsung tahun 1990-an , hampir seluruh bank melakukan kebijakan yang ketat. Kucuran kredit dihentikan sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak kondusif, yaitu suku bunga yang tinggi dan pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah yang malah sebaliknya, yaitu dengan mengeksistensikan kucuran pembiayaannya, baik kepada pengusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti dimasa krisis yang lalu sampai akhir tahun 1998, ketika krisis tengah melanda,  bank muamalat menyalurkan  pembiayaan Rp 392 Miliar. Sampai akhir tahun 1999 ketika krisis masih berlangsunng, bank muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 miliar, dengan tinkat kemacetan 0% (non performing loan). Pada saat itu malah  CAR Bank Muamalat sempat mencapai 6,5% jauh diatas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%). Oleh karena itu, pihak pemerintah bersama DPR mengeluarkan Undang-Undang No.10/1998 tentang perbankan. Undang-undang dimaksud mengatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis uasaha yang dapat dioperasikan dan diimpelementasikan oleh banyak syari’ah. Undang-undang tersebut memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk melakukan konversi ke system syari’ah dengan cara membuka cabang syari’ah dan konversi  secara total ke sisitem syari’ah.
Peluang dimaksud ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang dikonversi dan membuka cabang syari’ah antara lain Bank Syari’ah Mandiri (BSM), Bank IFI Syari’ah, BNI Syari’ah, BRI Niaga Syari’ah, dan lain-lain. Kini telah berkembang 19 Bank Syari’ah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal Syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 Kopersi Syari’ah, (Baitul Mal wat Tanwil atau BMT), dan Ahad-Net Internasional yang bergerak di bidang sector riil. Oleh karena itu, kalau pada masa sebelum kehadiran lembaga-lembaga keuangan syari’ah, umat Islam secara dharurat berhubungan dengan menggunakan lembaga keuangan yang menggunakan sisitem bunga, tetapi pada masa kini hadir lembaga keuangan syari’ah dan telah berkembang, maka alasan dharurat tidak ada lagi. Hal ini berarti kalau umat  Islam menyadari ajaran agamanya maka dana nya atau uangnya akan dimasukkan kedalam lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang bebas riba atau bebas dari larangan pencipta manusia.
Bank syari’ah dan bank muamalat serta bank konvensional yang membuka layanan syari’ah di Indonesia manjadikan pedoman Undang-Undang No 10/1998 tentang perubahan atas Undang-Undang  No 7/1992 tentang perbankan, Undang-Undang No 3/2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23/1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang dimaksud, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan Bank Indonesia. Dalam hal ini, dirumuskan beberapa garis hukum daintaranya:
1.      Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahnya;
2.      Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat  dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
3.      Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antar bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
4.      Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara  bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha dan atau rkegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syaari’ah, antara lain berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal dengan menggunakan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau adanya pilihan pemindahan pemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima)[4].
Selain itu perlu dikemukakan bahwa dalam pasal 11 ayat  (1) dan (2) Undang-Undang No 3/2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23/1999 tentang Bank Indonesia, menjelaskan: (1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah untuk jangka waktu paling lama 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan, dan (2) pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau ppembiayaan yang diterimanya.
Apabila mengamati dunia perbankan saat ini, bukan hanya Bank Muamalat sebagai perbankan yang menerapkan prinsip syari’ah, melainkan bank-bank pemerintah dan atau bank swasta pun telah menyiapkan satu bagian atau unit tersendiri untuk melayani keinginan warga masyarakat untuk menjadi nasabahnya menjadi bank syari’ah. Hal ini didasari oleh keinginan warga masyarakat yang ingin menggunakan jasa bank pemerintah dan atau swasta, tetapi tidak menginginkan terlibat dalam penerapan sistem bunga. Demikian juga kegiatan-kegiatan lembaga keuangan lainnya, sehingga muncul asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, gadai syari’ah dan atau lembaga keuangan yang tidak menggunakan sistem bunga.
Berdasarkan hal tersebut, ada produk keuangan yang halal dan yang tidak halal dan atau yang rawan unsur-unsur yang tidak halal. Perbankan misalnya, ada yang halal dan ada sangat kental dengan unsur bunga yang bisa dikategorikan sebagai riba. Belum lagi dengan asuransi, sudah banyak difahami oleh masyarakat Indinesia bahwa asuransi sering diasosiasikan dengan judi atau ketidakjelasan (gharar). Namun jika diteliti lebih jauh lagi, ternyata asuransi berbunga. Begitu juga dengan reksadana, yang dapat dianalogikan seperti kegiatan bagi hasil diantara para investor dengan maneger investasinya, tetapi alokasi investasinya juga tidak terlepas dari unsur riba. Oleh karena itu warga masyarakat Islam yang tahu dan paham tentang ajaran agamanya akan memanfaatkan produk keuangan yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, yaitu produk keuangan yang menggunakan sistem riba dalam berbagai produk lembaga keuangan.
Produk lembaga keuangan dimaksud, diuaraikan di antaranya sebagai berikut. Sebenarnya warga masyarakat Islam tidak perlu khawatir tentang produk keuangan yang tidak halal. Sebab, sebelum Majlis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi memfatwakan bahwa bunga bank itu haram, sudah ada alternatif untuk umat Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu, bank yang menggunakan sistem syari’ah di Indonesia sudah beroprasi tanpa menggunakan bunga, yaitu ada 3 bank umum syari’ah dan lebih dari 10 bank konvensional yang buka cabang khusus syari’ah.














Daftar Pustaka



[1] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, hlm: 463
[2] Prof. Dr. H.  Zainuddin Ali, M.A  Hukum Perbankan Syari’ah. Hlm  2
[3] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah. Hlm 3
[4] Ketentuan umum Pasal 11 Undang-Undang No 3/2004 tentang perbankan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar