SUMBER
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Matakuliah Hukum Perbankan Syariah
Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
Tajul Muttaqin
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A VIB
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431H/2010M
DAFTAR ISI
Daftar
Isi.......................................................................................................................1
BAB
I
Pendahuluan.....................................................................................................2
BAB
II Pembahasan
Sumber
Hukum Perbankan Syariah.........................................................................4
A. Al-Qur.an..........................................................................................................5
B. Hadits Nabi.......................................................................................................7
C. UU Perbankan...................................................................................................7
Daftar
Pustaka...........................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum
berbicara mengenai sumber hukum perbankan syariah perlu kiranya di ketahui alasan-alasan
yang menyebabkan suatu bank syariah itu berdiri. Unsur yang peling jelas dan
menonjol di karenakan adanya unsur riba dalam suatu bank konvensional. Adapun
hukum riba tersebut jelas haram kedudukannya dalam Islam
Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis
dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan
(al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan)
tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan
akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki,
MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai
“Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.”
Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu
transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada
saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba
yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama.
Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam
kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21
menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari
berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba
menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada
yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya,
Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang
haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang
menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf
al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14
menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas
dengan kandungan maka yang pasti (qath’i).
Adapun dalil haramnya riba
dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat
al-Baqarah ayat 278
BAB
II
PEMBAHASAN
Seteah
di atas dijelaskan tentang alasan-alasan perbankan syariah itu berdiri,
yangmana salah satunya adalah menghindari dari perbuatan yang mengandung riba,
karena jelas selaki Allah SWT dan Rasulnya mengharamkan riba.
Pada
bank-bank syariah tidak ditemukan konsep bunga, akantetapi dalam bank-bank
syarah itu menggunakan konsep bagi hasil, dan bank-bank syariah itu bersumber
dari Al-Qur’an, Hadis, dan UU Perbankan. Adapun sumber-sumber dari hukum
perbankan Syari’ah itu adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah
a.Surat Al-baqarah ayat 275
úïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't
(#4qt/Ìh9$#
w
tbqãBqà)t
wÎ)
$yJx.
ãPqà)t
Ï%©!$#
çmäܬ6ytFt
ß`»sÜø¤±9$#
z`ÏB
Äb§yJø9$#
4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/
(#þqä9$s%
$yJ¯RÎ)
ßìøt7ø9$#
ã@÷WÏB
(#4qt/Ìh9$#
3
¨@ymr&ur
ª!$#
yìøt7ø9$#
tP§ymur
(#4qt/Ìh9$#
4
`yJsù
¼çnuä!%y`
×psàÏãöqtB
`ÏiB
¾ÏmÎn/§
4ygtFR$$sù
¼ã&s#sù
$tB
y#n=y
ÿ¼çnãøBr&ur
n<Î)
«!$#
(
ïÆtBur
y$tã
y7Í´¯»s9'ré'sù
Ü=»ysô¹r&
Í$¨Z9$#
(
öNèd
$pkÏù
crà$Î#»yz
ÇËÐÎÈ
Artinya:
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
b.
Surat Ali imron ayat 130
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#qè=à2ù's?
(##qt/Ìh9$#
$Zÿ»yèôÊr&
Zpxÿyè»ÒB
(
(#qà)¨?$#ur
©!$#
öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÌÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”.
c. Surat Al- Baqoroh ayat 278
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
(#râsur
$tB
uÅ+t/
z`ÏB
(##qt/Ìh9$#
bÎ)
OçFZä.
tûüÏZÏB÷sB
ÇËÐÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman”.
2.Hadis
Nabi Muhammad SAW:
من أ سلف فليسف في كيل معلو م و و ز ن
معلو م إ لى أ جل معلو م ( ر و ا ه ا لبخا ر ي و مسلم )
Artinya:
“Barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan
takaran, timbangan dan djangka waktu yang pasti.” ( HR. Bukhari dan Muslim
)[1]
3.
UU Perbankan
Bank syari’ah
secara yuridis normative dan yuridis empiris diakui keberadaannya di Negara Republik
Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia,
diantaranya, Undang-Undang No 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No 10 tentang perubahan atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1998, tentang Perbankan, Undang-Undang No 3 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-Undang No
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, pengakuan
secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syari’ah tumbuh dan berkembang
pada umumnya di seluruh Ibukota provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan
beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha
syari’ah (bank syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan
semacamnya). Pengakuan secara yuridis dimaksud member peluang tumbuh dan
berkembang secara luas kegiatan usaha perbankan syari’ah, termasuk memberi kesempatan kepada bank umum (konvensional)
untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usha berdasrkan
prinsip syari’ah[2].
Selain
itu perlu diungkapkan bahwa kebiasaan atau tradisi hukum di Negara Republik
Indonesia dalam membut rancangan undang-undang di zaman orde lama dan awal orde
baru tidak pernah terdengar kata “syari’at”. Kata “syari’at” itu baru muncul
ketika rancangan undang-undang perbankan diusulkan menjadi undang-undang di
zaman di zaman akhir orde baru dan zaman awal reformasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pihak eksekutif dan legislative
memahami aspirasi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim sehingga menyiapkan
perangkat hukum yang berkaitan dengan persoalan hukum perbankan dan
produk-produknya. Oleh karena itu, hukum perbankan yang menggunakan
prinsip-prinsip syari’ah itu baru ada pada tahun 1992 di Indonesia, yaitu Bank
M uamalat Indonesia (BMI). Bank muamalat dimaksud, sejak berdiri tahun 1992
sampai 1998 masih menjadi permainan tunggal dalam dunia perbankan yang
menggunakan prinsip syari’ah dan ditambah 78 BPR Syari’ah di Indonesia.
Pada
tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensial saat itu
berjumlah 240 mengalami negative spared
yang berakibat pada likuidasi, kecuali perbankan yang menggunakan prinsip
syari’ah. Pada bulan November 1997, 16 bank di tutup (dilikuidasi), berikutnya
38 bank, selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Namun, kondisi ini
bebeda dengan perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah. Hal ini disebabkan
oleh bank syari’ah tidak dibebani oleh
nasabah membayar bunga simpanannya, melainkan bank syari’ah hanya membayar bagi
hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan yang diperoleh dalam
sisitem pengelolaan perbankan syari’ah. Sisitem bagi hasil tersebut jelas bahwa
perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah dapat selamat dari negative spared,
sednagkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI).
Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari
pemerintah,niscaya bank konvensional gulung tikar karena dilkuidasi.
Bantuan
dana atau suntikan dana dari pemerintah kepada perbankan konvensional dalam
bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermasalah, sehingga Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung untuk
melanjutkan penyelesaian 16 buah kasus pelanggaran nonkooperatif Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (selanjutnya disebut BLBI). Hal dimaksud, dikemukakan
oleh jaksa Agung Hendarman Supandji seusai bertemu Presiden SBY pada hari kamis
tanggal 8 November 2007 di Jakarta[3].
Akibat
dari suntikan dana dimaksud , Jaksa Agung mengemukakan bahwa ada 16 kasus BLBI
dengan nilai Rp 144,5 triliun yang ditangani oleh kejaksaan. Perincian kasus
dimaksud, diantaranya 3 buah kasus dalam tahap penyelidikan, 7 kasus lainnya
sudah dijatuhi hukuman, dan 2 kasus menunggu penyelesaian dari pihak Menteri
Keuangan. Selain iu, perlu diungkapkan bahwa pada masa krisis moneter
belangsung tahun 1990-an , hampir seluruh bank melakukan kebijakan yang ketat.
Kucuran kredit dihentikan sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak
kondusif, yaitu suku bunga yang tinggi dan pasti menyulitkan nasabah untuk
membayar bunganya. Berbeda dengan perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah
yang malah sebaliknya, yaitu dengan mengeksistensikan kucuran pembiayaannya,
baik kepada pengusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti dimasa krisis
yang lalu sampai akhir tahun 1998, ketika krisis tengah melanda, bank muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 Miliar. Sampai akhir tahun
1999 ketika krisis masih berlangsunng, bank muamalat meningkatkan pembiayaannya
mencapai Rp 527 miliar, dengan tinkat kemacetan 0% (non performing loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 6,5% jauh
diatas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%). Oleh karena itu, pihak
pemerintah bersama DPR mengeluarkan Undang-Undang No.10/1998 tentang perbankan.
Undang-undang dimaksud mengatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis
uasaha yang dapat dioperasikan dan diimpelementasikan oleh banyak syari’ah.
Undang-undang tersebut memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk
melakukan konversi ke system syari’ah dengan cara membuka cabang syari’ah dan
konversi secara total ke sisitem
syari’ah.
Peluang
dimaksud ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional.
Beberapa bank yang dikonversi dan membuka cabang syari’ah antara lain Bank
Syari’ah Mandiri (BSM), Bank IFI Syari’ah, BNI Syari’ah, BRI Niaga Syari’ah,
dan lain-lain. Kini telah berkembang 19 Bank Syari’ah, 25 Asuransi Syari’ah,
Pasar Modal Syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 Kopersi Syari’ah, (Baitul Mal wat Tanwil atau BMT), dan
Ahad-Net Internasional yang bergerak di bidang sector riil. Oleh karena itu,
kalau pada masa sebelum kehadiran lembaga-lembaga keuangan syari’ah, umat Islam
secara dharurat berhubungan dengan menggunakan lembaga keuangan yang
menggunakan sisitem bunga, tetapi pada masa kini hadir lembaga keuangan
syari’ah dan telah berkembang, maka alasan dharurat tidak ada lagi. Hal ini
berarti kalau umat Islam menyadari
ajaran agamanya maka dana nya atau uangnya akan dimasukkan kedalam
lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang bebas riba atau bebas dari larangan
pencipta manusia.
Bank syari’ah
dan bank muamalat serta bank konvensional yang membuka layanan syari’ah di
Indonesia manjadikan pedoman Undang-Undang No 10/1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang No 7/1992 tentang
perbankan, Undang-Undang No 3/2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No
23/1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang dimaksud, yang kemudian
dijabarkan dalam berbagai peraturan Bank Indonesia. Dalam hal ini, dirumuskan
beberapa garis hukum daintaranya:
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahnya;
2. Bank merupakan badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
dalam bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
3. Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antar bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
4. Prinsip syari’ah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha
dan atau rkegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syaari’ah, antara lain
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal dengan menggunakan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau adanya pilihan
pemindahan pemilikan atau barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah
wa iqtima)[4].
Selain
itu perlu dikemukakan bahwa dalam pasal 11 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No 3/2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No 23/1999 tentang Bank Indonesia, menjelaskan: (1) Bank Indonesia dapat
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah untuk jangka
waktu paling lama 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek bank yang bersangkutan, dan (2) pelaksanaan pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau ppembiayaan
yang diterimanya.
Apabila
mengamati dunia perbankan saat ini, bukan hanya Bank Muamalat sebagai perbankan
yang menerapkan prinsip syari’ah, melainkan bank-bank pemerintah dan atau bank
swasta pun telah menyiapkan satu bagian atau unit tersendiri untuk melayani
keinginan warga masyarakat untuk menjadi nasabahnya menjadi bank syari’ah. Hal
ini didasari oleh keinginan warga masyarakat yang ingin menggunakan jasa bank
pemerintah dan atau swasta, tetapi tidak menginginkan terlibat dalam penerapan
sistem bunga. Demikian juga kegiatan-kegiatan lembaga keuangan lainnya,
sehingga muncul asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, gadai syari’ah dan atau
lembaga keuangan yang tidak menggunakan sistem bunga.
Berdasarkan
hal tersebut, ada produk keuangan yang halal dan yang tidak halal dan atau yang
rawan unsur-unsur yang tidak halal. Perbankan misalnya, ada yang halal dan ada
sangat kental dengan unsur bunga yang bisa dikategorikan sebagai riba. Belum
lagi dengan asuransi, sudah banyak difahami oleh masyarakat Indinesia bahwa
asuransi sering diasosiasikan dengan judi atau ketidakjelasan (gharar). Namun
jika diteliti lebih jauh lagi, ternyata asuransi berbunga. Begitu juga dengan
reksadana, yang dapat dianalogikan seperti kegiatan bagi hasil diantara para
investor dengan maneger investasinya, tetapi alokasi investasinya juga tidak
terlepas dari unsur riba. Oleh karena itu warga masyarakat Islam yang tahu dan
paham tentang ajaran agamanya akan memanfaatkan produk keuangan yang sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya, yaitu produk keuangan yang menggunakan
sistem riba dalam berbagai produk lembaga keuangan.
Produk
lembaga keuangan dimaksud, diuaraikan di antaranya sebagai berikut. Sebenarnya
warga masyarakat Islam tidak perlu khawatir tentang produk keuangan yang tidak
halal. Sebab, sebelum Majlis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi memfatwakan
bahwa bunga bank itu haram, sudah ada alternatif untuk umat Islam. Sejak
beberapa tahun yang lalu, bank yang menggunakan sistem syari’ah di Indonesia
sudah beroprasi tanpa menggunakan bunga, yaitu ada 3 bank umum syari’ah dan
lebih dari 10 bank konvensional yang buka cabang khusus syari’ah.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar