Rabu, 26 November 2014

Kapita Selekta Hukum Keluarga



DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Peminangan………………………………………………………………
B.     Hukum dan Syarat-syarat Peminangan……………………………………………..
C.     Hukum Melihat Orang Yang Akan Dipinang……………………………………….
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka

















BAB I
PEMBAHASAN
1.    PEMINANGAN
A.     Pengertian Peminangan
1.      Menurut Fikih
Meminang (khitbah) adalah suatu permintaan laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini sebagai pendahuluan nikah[1]. Di dalam kitab-kitab fiqih, meminang (khitbah) diartikan dengan pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas atau membetitahukan keinginan untuk menikahi kepada walinya.[2]
2.      Peminangan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah:
a.    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 11 berbunyi: Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.[3]
b.    Sedangkan dalam RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang terdapat dalam pasal 9 berbunyi: peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya.[4]
Jadi yang dimaksud dengan peminangan (khitbah) menurut fikih, KHI, dan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan itu sama, bahwa yang dimaksud dengan peminangan (khitbah) itu adalah suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan dilakikan secara langsung oleh laki-laki yang berkehendak  menikahi atau dengan perantara yang dapat dipercaya (wakilnya).
B.     Hukum dan Syarat-syarat Peminangan
1.      Menurut Fikih
Dalam hukum Islam bahwasanya melakukan peminangan itu diperbolehkan (mubah), akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Perempuan yang akan dipinang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Tidak terikat oleh akad pernikahan,
2.      Tidak berada dalam masa iddah talak raj’i, dan
3.      Bukan pinangan laki-laki lain.[5]
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ أَخُوْالْمُؤْمِنِ فِلاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى يَبْحِ أَخِيْهِ وَلاَيَحْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَدَرَ. (متفق عليه)
Artinya: “Seorang Mukmin adalah saudara Mukmin lainnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/ditawar saudaranya, dan ia tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya, kecuali ia telah dilepaskannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
b.      Cara mengajukan pinangan:
1.      Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddah-nya boleh dinyatakan secara terang-terangan, dan
2.      Pinangan kepada janda yang masih dalam talak bain atau iddah ditinggal wafat suaminya, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada janda hanya boleh dilakukan secara sindirn saja.[6]
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ  
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Qs. Al-Baqarah/2/235)
2.  Syarat Peminangan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah:
a. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 12, yang berbunyi:
(1) Peminangan dapat diajukan terhadap seorang wanita yang masih perawan tau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) dilarang juga meminag seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.[7]
b. Sedangkan dalam RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang terdapat dalam pasal  10, yang berbunyi:
(1) Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang iddahnya telah habis.
(2)  Peminangan dilarang terhadap:
a. Perempuan yang masih berada dalam iddah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sindiran atau ta’ridl.
b. Perempuan yang sedang dipinang oleh laki-laki lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.[8]
C.     Hukum Melihat Orang Yang Akan Dipinang
Sebelum melakukan akad pernikahan, laki-laki yang akan meminag diperbolehkan untuk melihat perempuan yang akan dipinangnya dengan tujuan untuk melihat kecantikannya agar lebih merangsangnya untuk nikah atau untuk mengethui cacatnya yang akan memberi kesempatan kepadanya untuk mencari pilihan lain. Selain itu tujuan dari melihat wanita yang akan dipinang itu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah.[9]
Hadist Nabi Muhammad SAW:
أُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. (رواهالنسائي وابن ماجه والترمذي)
Artinya: “Lihatlah dia, karena akan menegekalkan perjodohan kalian berdua.” (HR. Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai dasar hukum untuk melihat perempuan yang akan dipinangnya, karena dalam hal ini ada sebagian ulama yang mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja dan ada juga yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat.[10]
Hadist Nabi Muhammad SAW:
a.    Dasar sebagian ulama yang mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُ كُمْ اِمْرَأَةً فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَا اِذَاكَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَاِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمُ. (رواه أحمد)
Artinya: “apabila salah seorang dari kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihaht perempuan itu, asal saja melihatnya semaat-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.” (HR. Ahmad)
b.    Dasar sebagian ulama yang mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu sunat:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُ كُمْ اِمْرَأَةً فَاِنِ اِسْتَطَاعَ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَااِلىَ نِكَا حِهَا فَلْيَفْعَلْ. (رواه أحمد وأبوداود)
Artinya: “ Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi, apabila tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan (seorang perempuan yang dipercayai) supaya dia dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan dipinangnya itu. Umat Islam benar-benar telah diberi kelapangan untuk melihat seorang perempuan yang dipinangnya itu.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai bagian-bagian yang boleh dilihat. Kebanyakan ulama hanya memperbolehkan melihat muka dan telapak tangan saja.Akan tetapi ulama lainnya ada yang memperbolehkan untuk melihat seluruh anggota tubuhnya.[11]
DAPTAR PUSTAKA
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani, Dzulqa’dah      1422H/Januari 2002M, Edisi Kedua
Nuruddin, Amir, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis        Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta:        Kencana, Juli 2006, Cet. Ketiga.
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.          
Amin, Ma’ruf,  Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Graha Paramuda,          Juni 2008, Cet. Kedua, h. 9-10           
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru, 2003, Cet. Ke-         36.
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, Dzulqa’dah     1422H/Januari 2002M), Edisi Kedua, h. 31



                [1] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, Dzulqa’dah 1422H/Januari 2002M), Edisi Kedua, h. 31

                [2] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, Juli 2006), Cet. Ketiga, h. 82

[3] Kompilasi Hukum Islam (KHI), h. 116

[4] RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, h. 5
                [5] Al-Hamdani, Risalah Nikah , h. 31

                [6]Ma’ruf Amin, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Paramuda, Juni 2008), Cet. Kedua, h. 9-10
                [7] Kompilasi Hukum Islam (KHI), h. 116

                [8] RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, h. 5

                [9] Ma’ruf Amin, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Paramuda, Juni 2008), Cet. Kedua, h. 11


                [10] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru, 2003), Cet. Ke-36, h. 381
                [11] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, Dzulqa’dah 1422H/Januari 2002M), Edisi Kedua, h. 31


Tidak ada komentar:

Posting Komentar