DAFTAR
ISI
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peminangan………………………………………………………………
B.
Hukum
dan Syarat-syarat Peminangan……………………………………………..
C.
Hukum
Melihat Orang Yang Akan Dipinang……………………………………….
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka
BAB
I
PEMBAHASAN
1.
PEMINANGAN
A.
Pengertian
Peminangan
1.
Menurut Fikih
Meminang
(khitbah) adalah suatu permintaan laki-laki kepada anak perempuan orang lain
atau seorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini
sebagai pendahuluan nikah[1].
Di dalam kitab-kitab fiqih, meminang (khitbah) diartikan dengan pernyataan
keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas atau
membetitahukan keinginan untuk menikahi kepada walinya.[2]
2.
Peminangan Menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan adalah:
a.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 11 berbunyi: Peminangan dapat langsung dilakukan
oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan
oleh perantara yang dapat dipercaya.[3]
b.
Sedangkan dalam RUU
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang terdapat dalam pasal 9
berbunyi: peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak
menikah atau wakilnya.[4]
Jadi
yang dimaksud dengan peminangan (khitbah) menurut fikih, KHI, dan RUU Hukum
Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan itu sama, bahwa yang dimaksud dengan
peminangan (khitbah) itu adalah suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan
perkawinan, menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu
untuk mengawininya dan dilakikan secara langsung oleh laki-laki yang
berkehendak menikahi atau dengan
perantara yang dapat dipercaya (wakilnya).
B.
Hukum
dan Syarat-syarat Peminangan
1.
Menurut Fikih
Dalam
hukum Islam bahwasanya melakukan peminangan itu diperbolehkan (mubah), akan
tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Perempuan yang
akan dipinang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Tidak terikat
oleh akad pernikahan,
2.
Tidak berada
dalam masa iddah talak raj’i, dan
3.
Bukan pinangan
laki-laki lain.[5]
Dalam hal ini,
Rasulullah SAW bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ
أَخُوْالْمُؤْمِنِ فِلاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى يَبْحِ أَخِيْهِ وَلاَيَحْطُبُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَدَرَ. (متفق عليه)
Artinya:
“Seorang
Mukmin adalah saudara Mukmin lainnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli
atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/ditawar saudaranya, dan ia tidak boleh
meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya, kecuali ia telah
dilepaskannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
b.
Cara mengajukan
pinangan:
1.
Pinangan kepada
gadis atau janda yang sudah habis masa iddah-nya boleh dinyatakan secara
terang-terangan, dan
2.
Pinangan kepada
janda yang masih dalam talak bain atau iddah ditinggal wafat
suaminya, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada janda
hanya boleh dilakukan secara sindirn saja.[6]
Firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur w £`èdrßÏã#uqè? #
Å HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 wur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6t Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷èt $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇËÌÎÈ
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan
sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah
kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Qs.
Al-Baqarah/2/235)
2.
Syarat Peminangan Menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah:
a.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 12, yang berbunyi:
(1)
Peminangan dapat diajukan terhadap seorang wanita yang masih perawan tau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
(2)
Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan
dilarang untuk dipinang.
(3)
dilarang juga meminag seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.[7]
b.
Sedangkan dalam RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang terdapat
dalam pasal 10, yang berbunyi:
(1)
Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau
perempuan yang sudah pernah menikah yang iddahnya telah habis.
(2) Peminangan dilarang terhadap:
a.
Perempuan yang masih berada dalam iddah, kecuali yang ditinggal mati suaminya
dapat dipinang secara sindiran atau ta’ridl.
b.
Perempuan yang sedang dipinang oleh laki-laki lain selama pinangan tersebut
belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.[8]
C.
Hukum
Melihat Orang Yang Akan Dipinang
Sebelum
melakukan akad pernikahan, laki-laki yang akan meminag diperbolehkan untuk
melihat perempuan yang akan dipinangnya dengan tujuan untuk melihat
kecantikannya agar lebih merangsangnya untuk nikah atau untuk mengethui
cacatnya yang akan memberi kesempatan kepadanya untuk mencari pilihan lain.
Selain itu tujuan dari melihat wanita yang akan dipinang itu bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari
penyesalan setelah menikah.[9]
Hadist
Nabi Muhammad SAW:
أُنْظُرْ
إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. (رواهالنسائي وابن ماجه
والترمذي)
Artinya:
“Lihatlah dia, karena akan menegekalkan perjodohan kalian berdua.” (HR.
Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai dasar hukum untuk melihat
perempuan yang akan dipinangnya, karena dalam hal ini ada sebagian ulama yang
mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja dan ada juga
yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat.[10]
Hadist Nabi Muhammad
SAW:
a.
Dasar sebagian
ulama yang mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh:
اِذَاخَطَبَ
اَحَدُ كُمْ اِمْرَأَةً فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَا اِذَاكَانَ
اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَاِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمُ. (رواه أحمد)
Artinya:
“apabila salah seorang dari kamu meminang seorang
perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihaht perempuan itu, asal
saja melihatnya semaat-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh
perempuan itu atau tidak.” (HR. Ahmad)
b.
Dasar sebagian
ulama yang mengatakan melihat perempuan yang akan dipinang itu sunat:
اِذَاخَطَبَ
اَحَدُ كُمْ اِمْرَأَةً فَاِنِ اِسْتَطَاعَ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَااِلىَ نِكَا حِهَا
فَلْيَفْعَلْ. (رواه أحمد وأبوداود)
Artinya:
“ Apabila salah seorang di antara kamu meminang
seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah
dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi,
apabila tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan (seorang perempuan yang
dipercayai) supaya dia dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang
akan dipinangnya itu. Umat Islam benar-benar telah diberi kelapangan untuk
melihat seorang perempuan yang dipinangnya itu.
Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai bagian-bagian yang boleh dilihat.
Kebanyakan ulama hanya memperbolehkan melihat muka dan telapak tangan saja.Akan
tetapi ulama lainnya ada yang memperbolehkan untuk melihat seluruh anggota
tubuhnya.[11]
DAPTAR
PUSTAKA
Al-Hamdani,
Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani,
Dzulqa’dah 1422H/Januari 2002M, Edisi
Kedua
Nuruddin,
Amir, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam
dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Kencana, Juli 2006, Cet. Ketiga.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
RUU
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
Amin,
Ma’ruf, Fatwa-fatwa Masalah
Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Graha Paramuda, Juni 2008, Cet. Kedua, h. 9-10
Rasjid,
Sulaiman, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru, 2003,
Cet. Ke- 36.
Al-Hamdani,
Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani,
Dzulqa’dah 1422H/Januari 2002M), Edisi
Kedua, h. 31
[1] Al-Hamdani,
Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani,
Dzulqa’dah 1422H/Januari 2002M), Edisi Kedua, h. 31
[2] Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI),
(Jakarta: Kencana, Juli 2006), Cet. Ketiga, h. 82
[3] Kompilasi Hukum Islam (KHI), h.
116
[4] RUU Hukum Materil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan, h. 5
[9] Ma’ruf
Amin, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha
Paramuda, Juni 2008), Cet. Kedua, h. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar