DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................ ……..2
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................3
A.
Pemanggilan...........................................................................................4
B.
Asas Pemanggilan..................................................................................4
C.
Tatacara Pemanggilan............................................................................4
D.
Pemanggilan di Luar Negeri..................................................................8
E.
Pemanggilan Bagi Tergugat yang Gaib.................................................9
F.
Pemanggilan Tergugat dalam Perkara Prodeo.....................................10
Daftar Pusta..........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah perkara terdaftar di
kepaniteraan Pengadilan Agama , Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas
perkara itu kepada ketua pengadilan agama, disertai” usul tindak” atau “ sarana tindak”, yang kira –
kira berbunyi” sudah diteliti dan syarat formal cukup. Atas dasar itu, Ketua Pengadilan
Agama dapat menunjuk majlis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara
tersebut, dengan surat penetapan, disebut
Penunjukan Majlis Hakim ( PMH ).
Ketua Majlis, setelah ia menerima
PMH dari ketua Pengadilan Agama, kepadanya diserahkan berkas perkara yang
bersangkutan untuk selanjutnya Ketua Majlis
harus membut Penetapan hari Sidang ( PHS ), untuk menentukan hari sidang
pertama akan dimulai. Nomor kode indeks penetapan adalah nomor agenda surat ke
luar biasa. Kalu Panitera sidang belum ditunjuk dalam penetapan PMH terdahulu,
Ketua Majlis sekaligus menunjuk pula panitera sidangnya.
Berdasarkan PHS, juru Sita akan
melakukan pemanggilan kepada pihak – pihak yang berperkara untuk menghadiri
sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam dan temapat yang ditunjuk dalam PHS.
Penetapan Hari Sidang selain “ sidang pertama “ dapat ditentukan dan dicatat
saja dalam berita Acara Sidang ( tidak perlu dengan PHS lagi ).
Penetapan Hari Sidang untuk sidang
pertama sangat menentukan sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri , dan
apabila tergugat sudah dipanggil dengan patut pada sidang petama, ia atau kuasa
sahnya tidak menghadap, maka ia akan diputus verstek. Jika penggugat sudah
dipanggil dengan patut , ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada
sidang pertama maka perkaranya akan diputus dengan digugurkan. Landasan yuridis
bolehnya verstek dan digugurkan dalam hal ini adalah PHS dari Ketua majlis.
Jika pada, apa yang diistilahkan
dengan “ sidang pertama “ itu, tergugat atau penggugat pernah hadir, lalu pada
sidang – sidang berikutnya tidak hadir bahkan sampai waktu mengucapkan keputusan
juga tidak hadir, maka putusan yang
diberikan bukan lagi putusan verstek dan bukan lagi putusan digugurkan,
melainkan disebut putusan “ contradictoir “ atau putusan “ op tegenspraak” .
itulah sebabnya PHS selain untuk sidang pertama tidak diperlukan tersendiri
melainkan cukup dicatat dalam berita Acara sidang.
Dan tenggang waktu antara
pemanggilan dan hari sidang adalah tiga hari. Undang – Undang No 5 th 1986
secara tegas menyatakan dalam menentukan hari sidang, hakim harus
mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat
persidangan. Jangka waktu antara ecuali dalam hal sengketa tersebut harus
diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam bagian Kedua paragrap 2.(
Pasal 64 ( 1 ) dan ( 2 ) UU No.5 th 1986).
BAB II
PANGGILAN SIDANG
A.
Pemanggilan
Salah satu tugas Juru Sita Pengganti
adalah melakukan pemanggilan atau pemberitahuan ( exploot) yang disampaikan
dengan risalah tertulis ( schriftelijk relaas) . exploot dalam bahasa belanda
atau exploit dalam bahasa perancis adalah surat panggilan yang disampaikan oleh
juru sita atau juru sita pengganti. Sedangkan relaas adaklah berita acara
pemanggilan sebagai isi dari exploot tersebut. Namun dalam perkebangannya,
istilah yang lazim digunakan adlah relaas kerana memang substansi dari exploot
adalah relaas panggilan ataqu berita acara panggilan.
Relaas dilihat dari bentuknya
dikategorikan sebagai akta autentik yaitu akta yang bentuknya ditentukan
undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pejabat berwenang, sehingga hal yang
tercantum dalam relaas dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
B.
Asas Pemanggilan
Asas yang harus diperhatikan dalam pemanggilan :
1.
Pemanggilan dilaksanakan secara resmi, artinya sasaran atau objek
pemanggilan tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan perundang-undangan,
2.
Pemanggilan memenuhi waktu yang patut ( properly ), artinya
tenggang waktu antara pemanggilan yang dilakukan denga hari sidang tidak kurang
dari tiga hari.[1]
C.
Tata Cara Pemanggilan
Masalah pemanggilan dan
pemberitahuan putusan dimuat dalam pasal 122, 366 dan pasal 390 HIR dan pasal
146, pasal 718 R.Bg serta pasal 26-28 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975
dan pasal 140 Kompilasi Hukum Islam. Dalam ketentuan peraturan perundang- undangan
ini dikemukakan tata cara pemanggilan para pihak yang berperkara sebagai berikut:[2]
1.
Pemanggilan dalam wilayah yuridiksi
Ada dua asas yang harus diperhatikan
dalam malakukan pemanggilan yaitu (1) harus dilakukan secara resmi, maksudnya
sasaran atau objek pemanggilan harus tepat menurut tata cara yang telah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan berlaku, (2) harus memenuhi tenggang waktu
nyang patut . artinya dalam menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaklah
memerhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak – pihak yang berperkara
yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kkurang dari tiga hati sebelum
acara persidangan dimulai dan di dalamnya tidak termasuk hari libur.
Panggilan disampaikan langsung
kepada pribadi para pihak yang berperkara di tempat keddiamannya . kalau perkara dikuasakan kepada kuasa hukumnya ,
maka panggilan disampaikan kepada kuasa hukumnya, biasanya dialamatkan kepada
kantor dimana dimana kuasa hukum tersebut berpraktik. Kemudian bagaimana kalau
surat npanggilan disampaikan langsung kepada pihak tetapi bukan di tempat
tinggalnya , seperti di jalan, jumpa di tengah jalan lalu juru sita memberikan
panggilan itu kepada para pihak dan para pihak yang berperkara itu mau menerima surat panggilan tersebut dalam praktek
peradilan agama selama ini adalah tidak sah karena tidak disampaikan langsung
ditempat tinggal para pihak yang berperkara sebagaimana tersebut pada pasal 390
HIR dan pasal 718 ayat 1 RBg.[3]
Dalam hal orang yang dipanggil tidak
dijumpai di tempat kediamannya, maka panggilan disampaikan melalui Kepala Desa
atau kelurahan sebagaimana diatur dalam pasal 390 HIR pasal 718 ayat 1 RBg
pasal 26 ayat 3 peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 dan pasal 138 ayat 3
kompilasi hukum islam. Ada sementara praktek hukum yang berpendapat bahwa
kepala desa atau lurah dalam peraturan perundang-undangan ini diartikan termasuk
didalamnya adalah aparat desa atau kelurahan lainya , dan juga ketua kampung (
Rk ) dan juga ketua rukun tetangga ( RT
) . mahkamah agung Ri memberikan petunjuk dalam beberapa pertemuan teknis
yustisial yang diadakan selama ini bahwa ketua rukun kmpung (RK) dan ketua
rukun tetangga ( RT ) itu bukan pehabat umum. Oleh karena itu panggilan yang
disampaikan lewat pejabat terssebut adalah tidak sah.
Meskipun dalam pasal 390 HIR
disebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk menyampaikan paanggilan kepada
pihak-pihak yang berperkara yang ada didesanya , akan tetapi apabila ia lalai
maka peraturan perundang undangan tidak memberikan sangsi atas kelalaian tersebut.
Oleh karena itu disampaikan atau tidak panggilan tersebut oleh kepala desa atau
lurah kepada yang berkepentingan, maka panggilan tersebut dianggap telah
memenuhi syarat panggilan dan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut
dan resmi. Seandainya kepala desa atau lurah betul-betul tidak menyampaikan
panggilan tersebut karena kealpaannya, maka ia tidak dapat dituntut secara
pidana.[4]
Pemanggilan para pihak yang
berperkara , saksi-saksi dan pihak-pihak yang dianggap perlu dihadirkan dalam
persidangan majlis haki harus dilakukan oleh juru sita pengganti dan harus
dilaksanakan dengan surat panggilan, surat panggilan tersebut harus diketik
rapi tidak boleh ada double ketikan atau mempergunakan tip ex. Kalau ada
kesalahan ketik , maka harus mempergunakan renvoi demikian pula kalau
mempergunakan blankonyang dikiri oleh departemen agama RI maka harus dicoret
yang tidak perludengan mempergunakan renvoi terhadap coretqan itu.
Surat panggilan relaas dibuat oleh
juru sita pengganti sebanyak rangkap dua. Lembar pertama asli setelah
ditandatangani oleh pihak yang dipanggil juru sita yang bertugas memanggil para
pihak itu menyerahkan relaas itu kepada ketua majlis hakim untuk kepentingan
pemeriksaan dan minutasi. Sedangkan tindasannya diserahkan kepada para pihak untuk
tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah dipanggil secara resmi dan patut.
Surat panggilan itu harus ditandatangani oleh juru sita yang bertugas memanggil
para pihak untuk hadir dalam sidang majlis hakim dan surat panggilan itu harus
dicap dinas pengadilan agama yang berwenang.
Dalam menjalankan tugasnya juru sita
khususnya dalam hal pemanggilan juru sita harus bertemu langsung dan berbicara
dengan orang yang dipanggil dan di tempat kediamannya, apabila di tempat
kediamannya tidak ada maka surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau
lurah yang bersangkutan. Panggilan harus dilaksanakan dengan benar sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang undangan yang
berlaku . jika panggilan tidak dilakukan dengan benar sehingga menimbulkan
kerugian pada pihak-pihak yang berperkara maka juru sita harus memikul segala
biaya pemanggilan yang telah dikeluarkan oleh peradilan agama dan wajib
memanggil kembali para pihak yang berperkara menurut ketentuan yang berlaku
sebab panggilan yang terdahulu tidak sah karena tidak sesuai dengan asas resmi
dan patut.
2.
Panggilan di Luar Wilayah Yuridiksi
Apabila tergugat di luar wilayah
yuridiksi pengadilan agama yang bersangkutan, maka ketua pengadilan agama
memohon bantuan pemanggilan kepada pengadilan agama di mana tempat tergugat
berada. Surat permohonan pemanggilan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh
panitera yang isinya memohon kepada pengadilan agama yang dituju untuk
memanggil para pihak ( biasanya tergugat ) karena saat ini berada ditempat
dalam wilayah yuridiksi peradilan agama tersebut. Surat permohonan panggilan
itu juga harus berisi ketentuan pasti hari sidang dilaksanakan dan
memerintahkan para pihak untuk menghadap pengadilan agama yang meminta bantuan
pemanggilan. Bersamaan denga surat permohonan pemanggilan tersebut juga
dilampirkan salinan atau fotokopi surat gugatan penggugat sebanyak satu lembar
untuk diketahui oleh tergugat sebagaimana mestinya.[5]
Surat permohonan yang dikirim kepada pengadilan agama yang dituju
tanpa melampirkan surat panggilan ( relaas ) dari pengadilan agama yang minta
bantuan pemanggilan. Yang membuat dan menandatangani surat panggilan ( relaas )
adalah juru sita pengadilan agama yang dimohonkan bantuan pemanggilan.
Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan itu harus mempertimbangkan jauhnya
jarak Pengadilan Agama dimana tergugat berada. Hal ini perlu guna menghindari
terjadinya persidangan pengadilan agama dimana relaas panggilan belum diterima
oleh majlis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Pengadilan yang menrima prmohonan
pemanggilan dari pengadilan agama lain diharapkan segera melaksanakan
permintaan/permohonan pemanggilan tersebut dengan memerintahkan panitera atau
juru sita untuk melaksanakannya. Agar pelaksanaan pemanggilan ini dapat
berjalan dengan lancar dan tertib, diharapkan kepada panitera untuk mengontrol
dengan serius pelaksanaan tugas juru sita dalam hal menangani permintaan pemanggilan
ini dari Pengadilan Agama lain dan hasilnya segera disampaikan kepada
Pengadilan Agama yang meminta pemanggilan tersebut agar persidangan yang sedang
diproses dapat segera diselesaikan dengan mestinya.[6]
Tentang biaya pemanggilan dapat
ditempuh dengan dua cara yaitu (1) mengirimkan bersama-sama dengan surat
permohonan permintaan pemanggilan kepada Pengadilan Agama yang dituju , ini
kalau sudah diketahui dengan pasti jarak radius dari pengadilan agama dengan
tempat tinggal tergugat. (2) mengirimkannya setelah pemanggilan dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan itu. Besarnya biaya dapat
diketahui dari relaas panggilan yang dikirim oleh Pengadilan Agama yang
melaksanakan pemanggilan. Sementara biaya ditanggung lebih dahulu oleh
Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan terhadapap kedua pemanggilan
ini, mahkamah Agung RI lebih condong kepada cara yang kedua, dengan cara ini
diharapkan persidangan dapat berjalan lancar.
D.
Pemanggilan di Luar Negeri
Jika para pihak yang berperkara berada diluar negara sebagaimana
tersebut dalam pasal 28 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 140
Kompilasi Hukum Islam, maka panggilan dilakukan melalui direktorat jennderal
dan konsuler departemen luar negri. Tembusan permohonan pemanggilan itu
disampaikan kepada perwakilan RI/ kedutaan besar RI di negara dimana pihak yang dipanggil
bertempat tinggal, dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil, dengan
melampirkan sehelai surat gugatan. [7]
Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan melalui
direktorat jendral protokol dan konsuler departemen luar negri supaya
memperhitungkan jarak jauhnya negara yang dituju, jangka waktu yang ideal
adalah minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan. Dalam masa tersebut dapat disusulkan surat
selanjutnya, sebagai monitor terhadap
surat permintaan sebelumnya.
Pemanggilan yang dikirim melalui derektorat jendral protokol dan
konsuler departemen luuar negri tidak perlu dilampirkan surat panggilan yang
lazimnya dipakai oleh pengadilan agama, tetapi permohonan pemanggilan itu
dibuat tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan ( relaaas ).
Meskipun surat panggilan itu tidak kembali atau dikembalikan oleh derektorat jendral
protokol dan konsuler departemen luar negri kepada Pengadilan Agama yang
memohon pemanggilan itu, panggilan tersebut sudah dianggap sah, dan telah
memppunyai nilai resmi dan patut.
E.
Pemanggilan Bagi Tergugat yang Gaib
Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di indonesia, atau tidak diketahui
pasti tempat tinggal tergugat berada, maka pemanggilannya dapat dilaksanakan
dengan melihat jenis perkaranya, yaitu:
1.
Perkara yang berhubungan dengan pekawinan
Panggilan pihak tergugat dilakukan
dengan berpedoman kepada Pasal 27 PP No. 1975 dan pada 139 Kompilasi Hukum
Islam ( KHI ). Pemanggilan dilaksanakan dengan cara mengumumkannya melalui satu
atau beberapa surat kabar atau media masa lainnya sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh ketua pengadilan secara resmi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pengumuman melalui surat kabar atau
mass media sebagaimana tersebut diatas harus dilaksanakan sbanyak dua kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu
antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang – kurangnya
tiga bulan. Dalam hal pemanggilan sudah dilaksanakan sebagaimna tersebut dan
tergugatb atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan itu diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
2.
Perkara yang berkenaan dengan kewarisan
Pemanggilan dalam perkara yang
berkenaan dengan kewarisan dilaksanakan melalui Bupati atau wali kota madya
dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama setempat. Surat panggilan ditempelkan
pada papan penhumuman pengadilan agama di depan pintu utama dan juga pada papan
pengumuman bupati dan atau wali kota madya sebagaimana tersebut dalam pasal 390
ayat 3 HIR dan pasal 718 ayat 3 R.Bg.
dalam hal yang dipanggil meninggal
dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya dengan cara
menyampaikannya secara langsung kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak
diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan melalui kepala desa
atau lurah sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat ( 2 ) HIR dan pasal 719
ayat 2 R.Bg.
F. Pemanggilan Tergugat dalam Perkara Prodeo
Pelaksanaan pemanggilan pihak-pihak
yang berperkara prodeo ( gugat dengan Cuma-Cuma ) tetap dilaksaanakan
sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dapat dilaksanakan apabila
yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang
berwenang memeriksa perkara tersebut baik secara lisan maupun tertulis dan
pengadilan tersebut telah memberi izin kepada yang bersangkutan untuk beracara
secara prodeo. Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita dengan biaya sepenuhnya
ditanggung oleh Pengadilan Agama.
Apabila Pengadilan Agama berkehendak
memanggil tergugat dengan perantara Pengadilan Agama lain untuk sidang pertama,
dan perkara tersebut belum ditentukan prodeo atau tidak alam sidang insidental,
maka surat permohonan pemanggilan yang dikirim kepada Pengadilan Agama lain itu
dilampirkan juga surat keterangan miskin yang dikeluarkan oleh kepala desa atau
lurah yang telah disahkan oleh camat selaku kepala wilayah. Disamping itu
kepala Pengadilan Agama yang menerima permohonan pemanggilan itu diberi
penjelasan bahwa orang tersebut dalam keadaan miskin dan biaya panggilan adalah
nihil.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Raihana, A. Rasyid, 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. (
Jakarta: Raja Grafindo Persada )
Musthofa, 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. ( Jakarta:
Kencana )
Fauzan, M. 2007. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syari’yah di Indonesia. ( Jakarta: Kencana )
Retno Wulan , Sutantio, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek. ( Bandung: Mandan Maju )
Manan, Abdul, 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. ( Jakarta: Kencana )
Makarao, Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. (
Jakarta: Rineka Cipta )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar