Rabu, 26 November 2014

Hukum Acara Peradilan Agama



DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN............................................................................            ……..2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A.    Pemanggilan...........................................................................................4
B.     Asas Pemanggilan..................................................................................4
C.     Tatacara Pemanggilan............................................................................4
D.    Pemanggilan di Luar Negeri..................................................................8
E.     Pemanggilan Bagi Tergugat yang Gaib.................................................9
F.      Pemanggilan Tergugat dalam Perkara Prodeo.....................................10
Daftar Pusta..........................................................................................................11


















BAB I
PENDAHULUAN
Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama , Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua pengadilan agama, disertai” usul  tindak” atau “ sarana tindak”, yang kira – kira berbunyi” sudah diteliti dan syarat formal cukup. Atas dasar itu, Ketua Pengadilan Agama dapat menunjuk majlis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dengan surat penetapan, disebut  Penunjukan Majlis Hakim ( PMH ).
Ketua Majlis, setelah ia menerima PMH dari ketua Pengadilan Agama, kepadanya diserahkan berkas perkara yang bersangkutan untuk selanjutnya Ketua Majlis  harus membut Penetapan hari Sidang ( PHS ), untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks penetapan adalah nomor agenda surat ke luar biasa. Kalu Panitera sidang belum ditunjuk dalam penetapan PMH terdahulu, Ketua Majlis sekaligus menunjuk pula panitera sidangnya.
Berdasarkan PHS, juru Sita akan melakukan pemanggilan kepada pihak – pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam dan temapat yang ditunjuk dalam PHS. Penetapan Hari Sidang selain “ sidang pertama “ dapat ditentukan dan dicatat saja dalam berita Acara Sidang ( tidak perlu dengan PHS lagi ).
Penetapan Hari Sidang untuk sidang pertama sangat menentukan sekali, karenanya ia harus dibuat tersendiri , dan apabila tergugat sudah dipanggil dengan patut pada sidang petama, ia atau kuasa sahnya tidak menghadap, maka ia akan diputus verstek. Jika penggugat sudah dipanggil dengan patut , ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama maka perkaranya akan diputus dengan digugurkan. Landasan yuridis bolehnya verstek dan digugurkan dalam hal ini adalah PHS dari Ketua majlis.
Jika pada, apa yang diistilahkan dengan “ sidang pertama “ itu, tergugat atau penggugat pernah hadir, lalu pada sidang – sidang berikutnya tidak hadir bahkan sampai waktu mengucapkan keputusan juga tidak  hadir, maka putusan yang diberikan bukan lagi putusan verstek dan bukan lagi putusan digugurkan, melainkan disebut putusan “ contradictoir “ atau putusan “ op tegenspraak” . itulah sebabnya PHS selain untuk sidang pertama tidak diperlukan tersendiri melainkan cukup dicatat dalam berita Acara sidang.
Dan tenggang waktu antara pemanggilan dan hari sidang adalah tiga hari. Undang – Undang No 5 th 1986 secara tegas menyatakan dalam menentukan hari sidang, hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. Jangka waktu antara ecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam bagian Kedua paragrap 2.( Pasal 64 ( 1 ) dan ( 2 ) UU No.5 th 1986).




















BAB II
PANGGILAN SIDANG
A.    Pemanggilan
Salah satu tugas Juru Sita Pengganti adalah melakukan pemanggilan atau pemberitahuan ( exploot) yang disampaikan dengan risalah tertulis ( schriftelijk relaas) . exploot dalam bahasa belanda atau exploit dalam bahasa perancis adalah surat panggilan yang disampaikan oleh juru sita atau juru sita pengganti. Sedangkan relaas adaklah berita acara pemanggilan sebagai isi dari exploot tersebut. Namun dalam perkebangannya, istilah yang lazim digunakan adlah relaas kerana memang substansi dari exploot adalah relaas panggilan ataqu berita acara panggilan.
Relaas dilihat dari bentuknya dikategorikan sebagai akta autentik yaitu akta yang bentuknya ditentukan undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pejabat berwenang, sehingga hal yang tercantum dalam relaas dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
B.     Asas Pemanggilan
Asas yang harus diperhatikan dalam pemanggilan :
1.    Pemanggilan dilaksanakan secara resmi, artinya sasaran atau objek pemanggilan tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan perundang-undangan,
2.    Pemanggilan memenuhi waktu yang patut ( properly ), artinya tenggang waktu antara pemanggilan yang dilakukan denga hari sidang tidak kurang dari tiga hari.[1]
C.    Tata Cara Pemanggilan
Masalah pemanggilan dan pemberitahuan putusan dimuat dalam pasal 122, 366 dan pasal 390 HIR dan pasal 146, pasal 718 R.Bg serta pasal 26-28 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 140 Kompilasi Hukum Islam. Dalam ketentuan peraturan perundang- undangan ini dikemukakan tata cara  pemanggilan  para pihak yang berperkara sebagai berikut:[2]
1.      Pemanggilan dalam wilayah yuridiksi
Ada dua asas yang harus diperhatikan dalam malakukan pemanggilan yaitu (1) harus dilakukan secara resmi, maksudnya sasaran atau objek pemanggilan harus tepat menurut tata cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan berlaku, (2) harus memenuhi tenggang waktu nyang patut . artinya dalam menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaklah memerhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak – pihak yang berperkara yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kkurang dari tiga hati sebelum acara persidangan dimulai dan di dalamnya tidak termasuk hari libur.
Panggilan disampaikan langsung kepada pribadi para pihak yang berperkara di tempat keddiamannya . kalau  perkara dikuasakan kepada kuasa hukumnya , maka panggilan disampaikan kepada kuasa hukumnya, biasanya dialamatkan kepada kantor dimana dimana kuasa hukum tersebut berpraktik. Kemudian bagaimana kalau surat npanggilan disampaikan langsung kepada pihak tetapi bukan di tempat tinggalnya , seperti di jalan, jumpa di tengah jalan lalu juru sita memberikan panggilan itu kepada para pihak dan para pihak yang berperkara itu mau  menerima surat panggilan tersebut dalam praktek peradilan agama selama ini adalah tidak sah karena tidak disampaikan langsung ditempat tinggal para pihak yang berperkara sebagaimana tersebut pada pasal 390 HIR dan pasal 718 ayat 1 RBg.[3]
Dalam hal orang yang dipanggil tidak dijumpai di tempat kediamannya, maka panggilan disampaikan melalui Kepala Desa atau kelurahan sebagaimana diatur dalam pasal 390 HIR pasal 718 ayat 1 RBg pasal 26 ayat 3 peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 dan pasal 138 ayat 3 kompilasi hukum islam. Ada sementara praktek hukum yang berpendapat bahwa kepala desa atau lurah dalam peraturan perundang-undangan ini diartikan termasuk didalamnya adalah aparat desa atau kelurahan lainya , dan juga ketua kampung ( Rk ) dan juga ketua rukun tetangga  ( RT ) . mahkamah agung Ri memberikan petunjuk dalam beberapa pertemuan teknis yustisial yang diadakan selama ini bahwa ketua rukun kmpung (RK) dan ketua rukun tetangga ( RT ) itu bukan pehabat umum. Oleh karena itu panggilan yang disampaikan lewat pejabat terssebut adalah tidak sah.
Meskipun dalam pasal 390 HIR disebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk menyampaikan paanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara yang ada didesanya , akan tetapi apabila ia lalai maka peraturan perundang undangan tidak memberikan sangsi atas kelalaian tersebut. Oleh karena itu disampaikan atau tidak panggilan tersebut oleh kepala desa atau lurah kepada yang berkepentingan, maka panggilan tersebut dianggap telah memenuhi syarat panggilan dan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan resmi. Seandainya kepala desa atau lurah betul-betul tidak menyampaikan panggilan tersebut karena kealpaannya, maka ia tidak dapat dituntut secara pidana.[4]
Pemanggilan para pihak yang berperkara , saksi-saksi dan pihak-pihak yang dianggap perlu dihadirkan dalam persidangan majlis haki harus dilakukan oleh juru sita pengganti dan harus dilaksanakan dengan surat panggilan, surat panggilan tersebut harus diketik rapi tidak boleh ada double ketikan atau mempergunakan tip ex. Kalau ada kesalahan ketik , maka harus mempergunakan renvoi demikian pula kalau mempergunakan blankonyang dikiri oleh departemen agama RI maka harus dicoret yang tidak perludengan mempergunakan renvoi terhadap coretqan itu.
Surat panggilan relaas dibuat oleh juru sita pengganti sebanyak rangkap dua. Lembar pertama asli setelah ditandatangani oleh pihak yang dipanggil juru sita yang bertugas memanggil para pihak itu menyerahkan relaas itu kepada ketua majlis hakim untuk kepentingan pemeriksaan dan minutasi. Sedangkan tindasannya diserahkan kepada para pihak untuk tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah dipanggil secara resmi dan patut. Surat panggilan itu harus ditandatangani oleh juru sita yang bertugas memanggil para pihak untuk hadir dalam sidang majlis hakim dan surat panggilan itu harus dicap dinas pengadilan agama yang berwenang.
Dalam menjalankan tugasnya juru sita khususnya dalam hal pemanggilan juru sita harus bertemu langsung dan berbicara dengan orang yang dipanggil dan di tempat kediamannya, apabila di tempat kediamannya tidak ada maka surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau lurah yang bersangkutan. Panggilan harus dilaksanakan dengan benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku . jika panggilan tidak dilakukan dengan benar sehingga menimbulkan kerugian pada pihak-pihak yang berperkara maka juru sita harus memikul segala biaya pemanggilan yang telah dikeluarkan oleh peradilan agama dan wajib memanggil kembali para pihak yang berperkara menurut ketentuan yang berlaku sebab panggilan yang terdahulu tidak sah karena tidak sesuai dengan asas resmi dan patut.  
2.      Panggilan di Luar Wilayah Yuridiksi
Apabila tergugat di luar wilayah yuridiksi pengadilan agama yang bersangkutan, maka ketua pengadilan agama memohon bantuan pemanggilan kepada pengadilan agama di mana tempat tergugat berada. Surat permohonan pemanggilan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh panitera yang isinya memohon kepada pengadilan agama yang dituju untuk memanggil para pihak ( biasanya tergugat ) karena saat ini berada ditempat dalam wilayah yuridiksi peradilan agama tersebut. Surat permohonan panggilan itu juga harus berisi ketentuan pasti hari sidang dilaksanakan dan memerintahkan para pihak untuk menghadap pengadilan agama yang meminta bantuan pemanggilan. Bersamaan denga surat permohonan pemanggilan tersebut juga dilampirkan salinan atau fotokopi surat gugatan penggugat sebanyak satu lembar untuk diketahui oleh tergugat sebagaimana mestinya.[5]
Surat permohonan yang  dikirim kepada pengadilan agama yang dituju tanpa melampirkan surat panggilan ( relaas ) dari pengadilan agama yang minta bantuan pemanggilan. Yang membuat dan menandatangani surat panggilan ( relaas ) adalah juru sita pengadilan agama yang dimohonkan bantuan pemanggilan. Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan itu harus mempertimbangkan jauhnya jarak Pengadilan Agama dimana tergugat berada. Hal ini perlu guna menghindari terjadinya persidangan pengadilan agama dimana relaas panggilan belum diterima oleh majlis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Pengadilan yang menrima prmohonan pemanggilan dari pengadilan agama lain diharapkan segera melaksanakan permintaan/permohonan pemanggilan tersebut dengan memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakannya. Agar pelaksanaan pemanggilan ini dapat berjalan dengan lancar dan tertib, diharapkan kepada panitera untuk mengontrol dengan serius pelaksanaan tugas juru sita dalam hal menangani permintaan pemanggilan ini dari Pengadilan Agama lain dan hasilnya segera disampaikan kepada Pengadilan Agama yang meminta pemanggilan tersebut agar persidangan yang sedang diproses dapat segera diselesaikan dengan mestinya.[6]
Tentang biaya pemanggilan dapat ditempuh dengan dua cara yaitu (1) mengirimkan bersama-sama dengan surat permohonan permintaan pemanggilan kepada Pengadilan Agama yang dituju , ini kalau sudah diketahui dengan pasti jarak radius dari pengadilan agama dengan tempat tinggal tergugat. (2) mengirimkannya setelah pemanggilan dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan itu. Besarnya biaya dapat diketahui dari relaas panggilan yang dikirim oleh Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan. Sementara biaya ditanggung lebih dahulu oleh Pengadilan Agama yang melaksanakan pemanggilan terhadapap kedua pemanggilan ini, mahkamah Agung RI lebih condong kepada cara yang kedua, dengan cara ini diharapkan persidangan dapat berjalan lancar.
D.    Pemanggilan di Luar Negeri
Jika para pihak yang berperkara berada diluar negara sebagaimana tersebut dalam pasal 28 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 140 Kompilasi Hukum Islam, maka panggilan dilakukan melalui direktorat jennderal dan konsuler departemen luar negri. Tembusan permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada perwakilan RI/ kedutaan besar   RI di negara dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal, dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil, dengan melampirkan sehelai surat gugatan. [7]
Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan melalui direktorat jendral protokol dan konsuler departemen luar negri supaya memperhitungkan jarak jauhnya negara yang dituju, jangka waktu yang ideal adalah minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan. Dalam  masa tersebut dapat disusulkan surat selanjutnya, sebagai monitor  terhadap surat permintaan sebelumnya.
Pemanggilan yang dikirim melalui derektorat jendral protokol dan konsuler departemen luuar negri tidak perlu dilampirkan surat panggilan yang lazimnya dipakai oleh pengadilan agama, tetapi permohonan pemanggilan itu dibuat tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan ( relaaas ). Meskipun surat panggilan itu tidak kembali atau dikembalikan oleh derektorat jendral protokol dan konsuler departemen luar negri kepada Pengadilan Agama yang memohon pemanggilan itu, panggilan tersebut sudah dianggap sah, dan telah memppunyai nilai resmi dan patut.
E.     Pemanggilan Bagi Tergugat yang Gaib
Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di indonesia, atau tidak diketahui pasti tempat tinggal tergugat berada, maka pemanggilannya dapat dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, yaitu:
1.              Perkara yang berhubungan dengan pekawinan
Panggilan pihak tergugat dilakukan dengan berpedoman kepada Pasal 27 PP No. 1975 dan pada 139 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ). Pemanggilan dilaksanakan dengan cara mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media masa lainnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengumuman melalui surat kabar atau mass media sebagaimana tersebut diatas harus dilaksanakan sbanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang – kurangnya tiga bulan. Dalam hal pemanggilan sudah dilaksanakan sebagaimna tersebut dan tergugatb atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan itu diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
2.      Perkara yang berkenaan dengan kewarisan
Pemanggilan dalam perkara yang berkenaan dengan kewarisan dilaksanakan melalui Bupati atau wali kota madya dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama setempat. Surat panggilan ditempelkan pada papan penhumuman pengadilan agama di depan pintu utama dan juga pada papan pengumuman bupati dan atau wali kota madya sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat 3 HIR dan pasal 718 ayat 3 R.Bg.
dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan melalui kepala desa atau lurah sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat ( 2 ) HIR dan pasal 719 ayat 2 R.Bg.
F. Pemanggilan Tergugat dalam Perkara Prodeo
Pelaksanaan pemanggilan pihak-pihak yang berperkara prodeo ( gugat dengan Cuma-Cuma ) tetap dilaksaanakan sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dapat dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara tersebut baik secara lisan maupun tertulis dan pengadilan tersebut telah memberi izin kepada yang bersangkutan untuk beracara secara prodeo. Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Pengadilan Agama.
Apabila Pengadilan Agama berkehendak memanggil tergugat dengan perantara Pengadilan Agama lain untuk sidang pertama, dan perkara tersebut belum ditentukan prodeo atau tidak alam sidang insidental, maka surat permohonan pemanggilan yang dikirim kepada Pengadilan Agama lain itu dilampirkan juga surat keterangan miskin yang dikeluarkan oleh kepala desa atau lurah yang telah disahkan oleh camat selaku kepala wilayah. Disamping itu kepala Pengadilan Agama yang menerima permohonan pemanggilan itu diberi penjelasan bahwa orang tersebut dalam keadaan miskin dan biaya panggilan adalah nihil.[8]











DAFTAR PUSTAKA

Raihana, A. Rasyid, 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada )
Musthofa, 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. ( Jakarta: Kencana )
Fauzan, M. 2007. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’yah di Indonesia. ( Jakarta: Kencana )
Retno Wulan , Sutantio, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. ( Bandung: Mandan Maju )           
Manan, Abdul, 2005.  Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. ( Jakarta: Kencana )
Makarao, Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. ( Jakarta: Rineka Cipta )


                [1] Mustafa, Kepaniteraan Peradilan Agama, h. 103
                [2] Abdul Manan, Penerepan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 135
[3] Raihana, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama

                [4] Makarao, Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata.
                [5] Abdul Manan, Penerepan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 139
                [6] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’yah di Indonesia
                [7] Retno Wulan , Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek.
                [8] Abdul Manan, Penerepan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 143-144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar