Rabu, 26 November 2014

Filsafat Hukum Islam



DAFTAI ISI
Daftar Isi.....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A.    Prinsip-prinsip Hukum Islam............................................................................3
B.     Karakteristik Hukum Islam...............................................................................5
BAB III KESIMPULAN........................................................................................10
Daftar Pustaka........................................................................................................11











BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus.
Keistimewaan hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukanistimbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari'at, tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum.
Jadi pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti didasarkan pada Al Qur'an dan As Sunnah meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat dari keduanya. Sebagai contoh, digunakannya urf, mashlahah mursalah, istihsan, dan lain lain dalam pengambilan hukum syara' oleh seorang mujtahid, bukan berarti bahwa mujtahid tersebut meninggalkan Al Qur'an dan As Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nash Al Qur'an dan As Sunnah, berupa tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.
Tujuan Syari' dalam pembentukan hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah ) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsini yah) mereka.
Untuk lebih jelasnya mengenai prinsip dan karakteritik hukum Islam, maka kami sebagai pemakalah akan menjelaskan pada bab berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
A.    Prinsip-prinsip Hukum Islam
1.      ‘Adam al-haraj
‘Adam al-haraj disebut juga dengan meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan, karena hukum Islam itu memberikan kemudahan dan menjauhi kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat manusia. Karena itu, maka dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rukhsah (peringanan hukum), dan dalam hukum Islam juga dikenal dengan istilah dharurah (hukum yang berlaku pada saat keterpaksaan).
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa beban kewajiban bagi manusia tidak pernah bersifat memberatkan adalah sebagai berikut:
a.       Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185
߃̍ãƒ..... ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ..... ÇÊÑÎÈ  
Artinay: “.....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran .....”. (Qs. al-Baqarah: 185)
b.      Firman Allah dalam suran al-Baqarah ayat 286
  
Artinay: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.....”. (Qs. al-Baqarah: 286)[1]
2.      Taqlil al-takalif
Adapun yang dimaksud dengan Taqlil al-taklif  itu adalah menyedikitkan beban, dalam artian bahwasanya manusia itu jangan terlalu banyak bertanya terhadp sesuatu yang belum ada hukumnya. Dalam hal ini, bahwasanya Nabi Muhammad SAW juga melarang kepada para sahabatnya untuk memperbanyak pertanyaan yang belum ada suatu hukumnya, yang pada akhirnya akan membertkan terhadap mereka sendiri.[2]
Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Qs. al-Maidah:101)[3]
3.      Al-tadrij
Al-tadrij adalah penetapan hukum yang di lakukan secara bertahap-tahap dalam artian hukum tersebut tidak sekaligus berubah. Pada setiap masyarakat pasti mempuyai sebuh adat kebiasaan baik kebiasaan tersebut itu merupakan kebiasaan baik atau kebiasaan buruk, dan apabila kebiasaan itu merupakan suatu kebiasaan yang buruk, maka kebiasaan tersebut itu harus dirubah dengan memberiak huku dari kebiasaan tersebut.
Apabila sebuah kebiasaan yang berada di suatu masyarakat itu akan dibuatkan hukumnya, maka cara pembuatan hukumnya tersebut tidak bisa dilakukan secara sekaliigus, karena apabila kebiasaan tersebut diberiakn hukumnya sekaligus maka akan terjadi sebuah konflik.
Sebagaiman yang terdapat dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan adat kebiasaannya (tradisi yang ada).[4]

4.      Muthabiq li maslahah al-ummah
Yang dimaksud dengan Muthabiq li maslahah al-ummah itu adalah memperharikan kemaslahatan manusia, jadi pada dasarnya prinsip dari hukum Islam itu adalah memperhatikan dari kemaslahatan Manusia.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan, dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga  sendi pokok, yaitu:
a.    Hukum-hukum itu ditetapkan setelah manusia membutuhkan hukum-hukum tersebut,
b.    Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya, dan
c.    Hukum-hukum tersebut ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
5.      Tahqiq al-‘adalah
Tahqiq al-‘adalah itu diartikan sebagai dari mewujudkan keadilan yang merata, sehubungan denagn hal ini menurut syari’at Islam bahwa semua orang itu sama, dalam artian tidak ada kelebihan seorang manusia dari yang lain di hadapan hukum.
Adapun kaidah-kaidah umum yang harus diperhatikan dalam menerapkan hukum adalah:
a.    Mewujudkan keadilan,
b.    Mendatangkan kesrjahteraan dan kemakmuran masyarakat,
c.    Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang dilakukan, dan
d.   Tiap-tipa manusia memikul dosanya sendiri.
B.     Karakteristik Hukum Islam
1.      Sempurna
Syari’at Islam diturunkan dalam bentuk tang umum dan garis besar permasalahan, oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syaria’at Islam hanya menetapkan kaedah dan memberikan patokan umum. Adpun supaya hukum tersebut jelas dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syari’at Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dapat diterima disemua tempat dan di setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyasuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.[5]
2.      Elastis
Selain itu hukum Islam juga bersifat elastis, ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan khalik.serta tuntunan hidup dunia dan akhirat juga terkandung di dalam ajarannya. Sebagaimana terlihat bahwa hukum Islam itu memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik dalam bidang mu’amalah, ibadah, jinayah, dan lain-lain.
Sebagai bukti bahwa hukum Islam itu bersifat elastis, maka dapat kita lihat dalam kasus jual beli. Dalam kasus jual beli ini terdapat empat ayat firman Allah yang menerangkan tentang jual beli.[6]
a.    Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275
š  
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah:275
b.    Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah.” (QS. al-Baqarah:282)
c.    Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 29
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. .” (Qs. an-Nisa:29)
d.      Firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 9
 
Artinya:“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Jumu’ah: 9)[7]
3.      Universal dan Dinamis
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa batas, dalam artian tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-ajaran Nabi. Selain itu hukum Islam juga mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman)[8]
Sebagai bukti apakah hukum Islam tersebut memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia dimuka bumi ini.[9] Selai itu juga al-Qur’an merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia. Allah berfirman:
  
Artinya: “ dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs. Saba’: 28)[10]
4.      Sistematis
Arti dari pernyataan bahwa Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang saling bertalian sevara logis. Misalnya perintah shalat yang selalu dibarengi dengan perintah zakat.
Dari hal tersebut maka dapat dipahami bahwa Islam itu tidak mengajarkan spiritual yang mandul, dalam hukum Islam seseorang dilarang melakukan muamalah dengan cara yang dilarang, karena Allah SWT itu telah menyuruh kepada seluruh manusia untuk mencari rezeki dengan cara mu’amalah, akan tetapi hukum Islam melarang kepada umatnya untuk melakukan mu’amalat dengan cara yang dzalim.[11]
5.      Manusiawi dan Bermoral
Hukum Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan tatanan moral, bahkan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammmad, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak/moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip moral.
Adapun hukum Islam bertujuan menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh ta'awun) kasih sayang di antara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian.
Artinya, dalam hukum Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Ooleh karena itu, kemaslahatan yang bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya.[12]


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka kami sebagai pemakalah dapat menyimpulkan bahwa prinsip dan karakteristik hukum Islam itu bahwasanya dalam hukum Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan, tidak hanya pada persoalan-persoalan yang bersifatduniawi, tapi juga yang bersifatukhrawi. Hukum duniawi titik tekannya adalah pada hal-hal yang tampak.
Sedangkan hukum akhirat itu didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi seseorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal ini adalah Allah dan diberlakukan langsung kepada hamba-hamba-Nya.
Ciri khusus lain yang membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sangsi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta'zi r yang tidak ditentukan, dan hukuman akhirat.


















DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Maret 1999, cet. Kedua
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandinagn Sistem Hukum Islam). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, Januari 1997, cet. Kedua
Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam. Jakarta: Tintamas 1997, cet. Pertama






















[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

[1475] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.” (Qs. an-Nisa:29)



[1] Al-Qur’an dan Terjemahnya
[2] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm. 68
[3] Al-qur’an dan Terjemah
[4] Faturrahman Djamil, op. cit., h. 72
[5] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm. 47
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, cet. 1 ,(Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 27
[7] Al-qur’an dan Terjemah
[8] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandingn Sistem Hukum Islam), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, hlm.217
[10] Al-qur’an dan Terjemah
[11] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar