DAFTAI ISI
Daftar
Isi.....................................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Prinsip-prinsip
Hukum
Islam............................................................................3
B. Karakteristik
Hukum Islam...............................................................................5
BAB III
KESIMPULAN........................................................................................10
Daftar
Pustaka........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan
dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam
adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan
melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena
itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan
hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus.
Keistimewaan hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia
adalah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang
tersurat dalam Al Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukanistimbath (penggalian) hukum-hukum syara'
selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara
langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari'at, tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip umum.
Jadi pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti didasarkan pada Al Qur'an dan As Sunnah
meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat dari keduanya. Sebagai contoh, digunakannya urf, mashlahah mursalah, istihsan, dan lain
lain dalam pengambilan hukum syara' oleh seorang
mujtahid, bukan berarti bahwa mujtahid tersebut
meninggalkan Al Qur'an dan As Sunnah, namun hal itu dilakukan
setelah terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nash Al Qur'an dan As Sunnah, berupa tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip
umumnya.
Tujuan Syari' dalam
pembentukan hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan manusia
dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah
) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsini
yah) mereka.
Untuk lebih jelasnya
mengenai prinsip dan karakteritik hukum Islam, maka kami sebagai pemakalah akan
menjelaskan pada bab berikutnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
PRINSIP
DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
A. Prinsip-prinsip Hukum Islam
1. ‘Adam al-haraj
‘Adam
al-haraj disebut juga dengan meniadakan kepicikan
dan tidak memberatkan, karena hukum Islam itu memberikan kemudahan dan menjauhi
kesulitan, semua hukumnya dapat dilaksanakan oleh umat manusia. Karena itu,
maka dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rukhsah (peringanan hukum),
dan dalam hukum Islam juga dikenal dengan istilah dharurah (hukum yang
berlaku pada saat keterpaksaan).
Adapun
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa beban kewajiban bagi manusia tidak
pernah bersifat memberatkan adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
185
ßÌã.....
ª!$#
ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã
ãNà6Î/
uô£ãèø9$#
..... ÇÊÑÎÈ
Artinay:
“.....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran .....”.
(Qs. al-Baqarah: 185)
b. Firman Allah dalam suran al-Baqarah ayat
286
Artinay:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.....”.
(Qs. al-Baqarah: 286)[1]
2. Taqlil al-takalif
Adapun
yang dimaksud dengan Taqlil al-taklif
itu adalah menyedikitkan beban, dalam artian bahwasanya manusia itu
jangan terlalu banyak bertanya terhadp sesuatu yang belum ada hukumnya. Dalam hal
ini, bahwasanya Nabi Muhammad SAW juga melarang kepada para sahabatnya untuk memperbanyak
pertanyaan yang belum ada suatu hukumnya, yang pada akhirnya akan membertkan
terhadap mereka sendiri.[2]
Sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut:
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu,
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (Qs. al-Maidah:101)[3]
3. Al-tadrij
Al-tadrij
adalah penetapan hukum yang di lakukan secara
bertahap-tahap dalam artian hukum tersebut tidak sekaligus berubah. Pada setiap
masyarakat pasti mempuyai sebuh adat kebiasaan baik kebiasaan tersebut itu
merupakan kebiasaan baik atau kebiasaan buruk, dan apabila kebiasaan itu
merupakan suatu kebiasaan yang buruk, maka kebiasaan tersebut itu harus dirubah
dengan memberiak huku dari kebiasaan tersebut.
Apabila
sebuah kebiasaan yang berada di suatu masyarakat itu akan dibuatkan hukumnya,
maka cara pembuatan hukumnya tersebut tidak bisa dilakukan secara sekaliigus,
karena apabila kebiasaan tersebut diberiakn hukumnya sekaligus maka akan
terjadi sebuah konflik.
Sebagaiman
yang terdapat dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat
tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah akan menentang
apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam
kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan
dengan adat kebiasaannya (tradisi yang ada).[4]
4. Muthabiq li maslahah al-ummah
Yang
dimaksud dengan Muthabiq li maslahah al-ummah itu adalah memperharikan
kemaslahatan manusia, jadi pada dasarnya prinsip dari hukum Islam itu adalah
memperhatikan dari kemaslahatan Manusia.
Ayat-ayat
yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meninggalkan masyarakat
sebagai bahan pertimbangan, dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada
tiga sendi pokok, yaitu:
a. Hukum-hukum itu ditetapkan setelah
manusia membutuhkan hukum-hukum tersebut,
b. Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu
kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat ke bawah
ketetapannya, dan
c. Hukum-hukum tersebut ditetapkan menurut
kadar kebutuhan masyarakat.
5. Tahqiq al-‘adalah
Tahqiq
al-‘adalah itu diartikan sebagai dari mewujudkan
keadilan yang merata, sehubungan denagn hal ini menurut syari’at Islam bahwa
semua orang itu sama, dalam artian tidak ada kelebihan seorang manusia dari
yang lain di hadapan hukum.
Adapun
kaidah-kaidah umum yang harus diperhatikan dalam menerapkan hukum adalah:
a. Mewujudkan keadilan,
b. Mendatangkan kesrjahteraan dan
kemakmuran masyarakat,
c. Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang
dilakukan, dan
d. Tiap-tipa manusia memikul dosanya
sendiri.
B. Karakteristik Hukum Islam
1. Sempurna
Syari’at
Islam diturunkan dalam bentuk tang umum dan garis besar permasalahan, oleh
karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran
berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci,
syaria’at Islam hanya menetapkan kaedah dan memberikan patokan umum. Adpun
supaya hukum tersebut jelas dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad.
Dengan
menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syari’at Islam dapat benar-benar
menjadi petunjuk yang universal dapat diterima disemua tempat dan di setiap
saat. Setiap saat umat manusia dapat menyasuaikan tingkah lakunya dengan
garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.[5]
2. Elastis
Selain
itu hukum Islam juga bersifat elastis, ia meliputi segala bidang dan lapangan
kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani,
hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan khalik.serta tuntunan hidup
dunia dan akhirat juga terkandung di dalam ajarannya. Sebagaimana terlihat
bahwa hukum Islam itu memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik dalam bidang
mu’amalah, ibadah, jinayah, dan lain-lain.
Sebagai
bukti bahwa hukum Islam itu bersifat elastis, maka dapat kita lihat dalam kasus
jual beli. Dalam kasus jual beli ini terdapat empat ayat firman Allah yang
menerangkan tentang jual beli.[6]
a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
275
Artinya:
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs.
al-Baqarah:275
b. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
282
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah.” (QS.
al-Baqarah:282)
c. Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 29
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
.” (Qs. an-Nisa:29)
d. Firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat
9
Artinya:“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs.
al-Jumu’ah: 9)[7]
3. Universal dan Dinamis
Ajaran
Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa batas, dalam artian
tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-ajaran Nabi.
Selain itu hukum Islam juga mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap
zaman)[8]
Sebagai
bukti apakah hukum Islam tersebut memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus
dikembalikan kepada al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran
Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia dimuka bumi ini.[9]
Selai itu juga al-Qur’an merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur
alam semesta termasuk manusia. Allah berfirman:
Artinya:
“ dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs.
Saba’: 28)[10]
4. Sistematis
Arti
dari pernyataan bahwa Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam
itu mencerminkan sejumlah doktrin yang saling bertalian sevara logis. Misalnya
perintah shalat yang selalu dibarengi dengan perintah zakat.
Dari
hal tersebut maka dapat dipahami bahwa Islam itu tidak mengajarkan spiritual
yang mandul, dalam hukum Islam seseorang dilarang melakukan muamalah dengan
cara yang dilarang, karena Allah SWT itu telah menyuruh kepada seluruh manusia
untuk mencari rezeki dengan cara mu’amalah, akan tetapi hukum Islam melarang
kepada umatnya untuk melakukan mu’amalat dengan cara yang dzalim.[11]
5. Manusiawi dan Bermoral
Hukum Islam berbeda dengan
undang-undang pada umumnya, karena ia
terpengaruh dengan tatanan moral, bahkan sebagaimana ditegaskan
oleh Nabi Muhammmad, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan
akhlak/moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum
positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek
manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat
meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip moral.
Adapun hukum Islam bertujuan
menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya
moralitas. Diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk
menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh ta'awun) kasih sayang di antara manusia dan
melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta.
Demikian.
Artinya, dalam hukum Islam
itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan
sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang
lain. Ooleh karena itu, kemaslahatan yang bersifat umum
atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan
yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan
antara keduanya.[12]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka kami sebagai
pemakalah dapat menyimpulkan bahwa prinsip dan karakteristik hukum Islam itu
bahwasanya dalam hukum Islam selalu ada pemikiran mengenai
halal-haram terhadap setiap tindakan, tidak hanya pada
persoalan-persoalan yang bersifatduniawi, tapi juga yang bersifatukhrawi. Hukum duniawi titik tekannya adalah
pada hal-hal yang tampak.
Sedangkan hukum akhirat itu didasarkan pada kebenaran material yang
hakiki, meskipun bagi seseorang (misalnya hakim) hal itu sangat
samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal
ini adalah Allah dan diberlakukan langsung kepada
hamba-hamba-Nya.
Ciri khusus lain yang membedakan
hukum Islam dengan hukum-hukum lain
buatan manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sangsi
hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman
dunia, baik berupa hukuman hudud yang
sudah ditentukan maupun ta'zi r
yang tidak ditentukan, dan hukuman akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Djamil, Faturrahman, Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Maret 1999, cet. Kedua
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandinagn Sistem Hukum Islam).
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, Januari 1997, cet. Kedua
Hasbi Ash-Shiddieqy,
Muhammad, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam. Jakarta: Tintamas 1997,
cet. Pertama
[174]
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]
Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.
[176]
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak
dikembalikan.
[1475]
Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari
Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan
meninggalakan semua pekerjaannya.
[287]
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.” (Qs. an-Nisa:29)
[1] Al-Qur’an dan
Terjemahnya
[2] Faturrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm. 68
[3] Al-qur’an dan
Terjemah
[4] Faturrahman Djamil, op.
cit., h. 72
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika
dan Elastisitas Hukum Islam, cet. 1 ,(Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 27
[8] Muhammad Muslehuddin, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandingn Sistem Hukum Islam),
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, hlm.217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar