BAB
I
PENDAHULUAN
Konversi
berasal dari bahasa latin yaitu “convertera” yang berarti membalikan
atau mengubah nama dengan pemberian nama baru atau sifat baru sehingga
mempunyai isi dan makna yang sama.
Adapun istilah “Konversi” menurut Prof. Mr.
Dr. Sudargo Gautama[1]
ialah pengalihan, perubahan dari satu hak tertentu kepada suatu hak lain.
Sedangkan menurut Dr. A. P. Perlindungan, S. H. Konversi secara umum dapat
diartikan penyesuaian atau perubahan, dari hak-hak yang diatur oleh peraturan
lama disesuaikan dengan hak-hak yang baru[2].
Dengan
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
maka hapuslah dualisme di dalam hukum pertahanan atau terselenggaralah suatu
unifikasi di bidang hukum agraria, sekaligus terciptanya unifikasi hak-hak atas
tanah yang diatur/tunduk pada hukum agraria lama ( hukum barat maupun hukum
adat ) dikonversikan menjadi salah satu hak menurut ketentuan UUPA ( Pasal 16 )
Pada
dasarnya hak-hak atas tanah menurut peraturan perundang-undangan yang lama akan
dikonversikan menjadi hak-hak yang baru menurut UUPA dengan memberi wewenang
yang sama/hampir sama,sebagaimana dimaksud dalam ketentuan konversi dalam
bagian kedua yaitu pasal I sampai dengan Pasal IX.
BAB
II
HAK-HAK
ATAS TANAH DALAM UUPA DAN SISTEM KONVENSI HAK-HAK
A.
Hak-hak Atas Tanah
Jenis-jenis
hak atas tanah menurut UUPA
1.
Hak Milik
Pengertian
hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berhubungan dengan Pasal 6 UUPA
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Kata
“Turun-temurun” menunjukan bahwa hak
tersebut dapat berlangsung selama pemilik masih hidup dan jika dia meninggal
dunia, hak tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli waris. “ Terkuat” menunjukan
bahwa kedudukan hak itu paling kuat jika dibandingkan dengan hak-hak atas tanah
lainnya, karena terdaftar dan pemilik hak diberi tanda bukti
hak(serifikat),sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain.[3]
Ciri-ciri
hak milik, adalah sebagai berikut:
a.
Hak milik merupakan hak atas tanah yang paling kuat artinyatidak mudah
dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain oleh karena itu maka Hak Milik
termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan ( pasal 23 UUPA)
b.
Hak milik mempunyai jangka waktu yang tidak terbatas
c.Terjadinya
hak milik karena hokum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu juga
bisa terjadi karena penetapan pemerintah atau ketentuan undang-ungang.
d.
Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain melalui jual-beli,hibah,tukar- menukar,pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut hokum adat dan lain-lain. [4]
e.
Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan ( Pasal
25 UUPA)
2.
Hak Guna Usaha
Pengertian
hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara
dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 29, untuk
perusahaan pertanian dan peternakan( pasal 28 UUPA). Tujuan penggunaan tanah
yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha itu terbatas, yaitu pada uasaha
pertanian,perikanan, dan peternakan. Oleh karena itu maka hak guna usaha dapat
dibebankan pada tanah hak milik.[5]
Ciri-ciri
hak guna usaha sebagai berikut:
a.
Hak yang harus didaftarkan
b.
Dapat beralih karena pewarisan
c.
Mempunyai jangka waktu terbatas
d.
Dapat dijadikan jaminan hutang
e.
Dapat dialihkan karena pihak lain
f.
Dapat dilaepaskan menjadi tanah Negara
3.
Hak Guna Bangunan [6]
Pengertian
hak guna bangunan adalah untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah
milik orang lain yang bukan miliknya sendiri ( tanah Negara atau tanah orang
lain) dengan jangka waktu tertentu. Atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keperluan dan keadaan bangunannya,jangka waktu HGB dapat
diperrpanjang waktu paling lama 20 tahun.
Tanah
yang dapat diberikan dengan HGB:
a.
Tanah Negara
b.
Tanah Hak Pengelolaan
c.
Tanah Hak Milik
HGB
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut ini:
a.
Harus didaftarkan
b.
Dapat beralih karena pewarisan
c.
Jangka waktunya terbatas
d.
Dapat dijadikan jaminan hutang
e.
Dapat dialihkan karena pihak lain
f.
Dapat dilepaskan oleh pemegangnya
4. Hak Pakai
Pengertian hak pakai adalah hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang member wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang atau perjanjian dengan pemilik tanah, asal segala sesuatunya tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.[7]
Ciri-ciri
hak pakai sebagai berikut:
a.
Penggunaan tanah bersifat sementara
b.
Dapat diperjanjikan tetapi tidak jatuh kepada ahli waris
c.
Tidak dapat dijadikan jaminan hutang
d.Dapat
diahlikan dengan izin jika tanah Negara, dimungkinkan oleh perjanjian jika
tanah hak milik
e.
Dapat dilepaskan, sehingga kembali kepada Negara atau pemilik
5. Hak Sewa
Pengertian hak sewa adalah hak yang ,member wewenang
untuk menggunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewanya. UUPA membedakan hak sewa atas tanah menjadi dua
macam,yaitu:
1.
Hak sewa untuk bangunan
2.
Hak sewa untuk tanah pertanian
Ciri-ciri
hak sewa sebagai berikut:
a.
Jangka waktunya terbatas
b.
Bersifat perseorangan
c.
Tidak boleh dialihkan tanpa izin
d.
Dapat diperjanjikan putus karena meninggal
e.
Tidak dapat dijadikan jaminan hutang
f.
Tidak putus karena pengalihan hak sewa
g.
Dapat dilepaskan oleh penyewa
6. Hak Pengelolaan
Menurut ketentuan pasal 3 Peraturan Menteri dalam
Negeri No.5 Tahun 1974, hak pengolahan adalah hak atas tanah yang member
wewenang kepada pemegangnya untuk:
a.
Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan
b.
Menggunakan tanah yang bersangkutan untuk pelaksanaan usaha
c.
Menyerahkan bagian tanah yang bersangkutan kepada pihak ketiga dengan hak pakai
untuk jangka waktu 6 tahun
d.
Menerina untuk pemasukan/ganti kerugian dan uang wajib tahunan
Wewenang
untuk menyerahkan tanah kepada pihak ketiga hanya terbatas pada:
a.
Tanah yang luasnya maksimum 1.000 meter persegi
b.
Warga Negara Indonesia dan badan hokum yang didirikan menurut hokum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
c.
Pemberian hak untuk yang pertama kali saja, denganketentuan bahwa
perubahan,perpanjang dan penggantian hak tersebut akan dilakukan oleh instansi
yang berwenang dan pada asanya tidak mengurangi hak sewa yang diterima
sebelumnya oleh pemegang.
7. Hak Gadai Tanah
Pengertian hak gadai tanah adalah penyerahan tanah
dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan
berhak atas pengembalian tanahnya dengan memberikan uang tebusan. Pemegang
gadai dapat menggunakan tanah yang dipegangnya.
Ciri-ciri
hak gadai tanah sebagai berikut:
a.
Jangka waktunya terbatas
b.
Tidak berakhir karena meninggalnya pemegang gadai
c.
Dapat dibebani dengan hak-hak lain
d.
Dapat dialihkan dengan izin pemilik
e.
Tidak hapus karena pengalihan hak atas tanah
f.
Uang gadai dapat ditambah selama gadai berlangsung
g.
Sebagai lembaga akan hapus pada waktunya
h.
Hak atas tanah yang wajib didaftarkan
8. Hak Usaha Bagi Hasil
Pengertian hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang
atau badan hukum untuk menggarap diatas tanah pertanian milik orang lain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan
yang telah disetujui sebelumnya.
9. Hak Sewa Tanah
Pertanian
Pengertian hak sewa tanah pertanian adalah
penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang member sejumlah uang kepada
pemiliknya dengan perjanjian bahwa setelah penyewa itu menguasai tanah selama
waktu tertentu, tanahnya akan kembali kepada pemiliknya.
10. Hak Menumpang
Hak menumpang juga diatur dalam hukum adat. Hak
menumpang adalah hak yang member wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan
menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Hak ini disebut magersari.
Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada pemilik tanah.
Hubungan hokum dengan tanah tersebut lemah, artinya sewaktu-waktu dapat diputus
oleh pemilik tanah jika dia memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang
dilakukan hanya terhadap tanah perkarangan/bangunan dan tidak terhadap tanah
pertanian.
Sistem
konversi hak-hak atas tanah
pengertian konversi seperti yang sudah dibahas oleh
pemakalah sebelumnya yaitu dapat dikatakan penyesuaian atau perubahan, dari
hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan dengan hak-hak yang baru.
Pada prinsipnya konversi hak-hak lama menjadi hak-hak baru sesuai dengan
ketentuan UUPA, karena menurut ketentuan-ketentuan konversi,terjadinya konversi
karena 3 (tiga) kemungkinan yaitu:
1.
Konversi yang terjadi dengan sendirinya karena hukum
Konversi seperti ini terjadi dengan sendirinya tanpa
diperlukan tindakan dari suatu instansi baik yang bersifat konstitutif maupun
deklaratoir. Misalnya, hak erfacht untuk
perusahaan kebun besar, menurut pasal III ayat 1 ketentuan-ketentuan konversi
UUPA sejak tanggal 24 September 1960, dengan sendirinya manjadi hak guna usaha.
Jang waktunya pun sudah ditenttukan selama sisa waktu hak erfacht tesebut paling lama 20 tahun.
2.
Konversi yang terjadi setelah diperoleh suatu tindakan yang bersifat
deklaratoir dari instansi yang berwenang .
Konversi ini juga terjadi karena hukum, tetapi
tetapi karena disertai dengan syarat-syarat tertentu maka diperlukan suatu
tindakan penegasan yang bersifat deklaratoir.[8]
B.Aspek-aspek
Konversi Hak-hak Tanah
1. Tujuan Konversi
Tujuan dari konversi adalah usaha-usaha untuk penataan kembali hak-hak
atas tanah yang berasal dari hak-hak adat maupun hak-hak barat, dan untuk
mengembalikan fungsi sosial atas pengusahaan tanah sesuai dengan pancasila dan
UUD 1945.
Untuk maksud dan tujuan tersebut di atas, maka
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan keputusan, yaitu keputusan Presiden
No. 32 Tahun 1979 tanggal 8 Agustus tentang “Pokok-pokok Konversi Barat”. Yang
dalam Pasal 1 mengatakan bahwa “Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak
pakai asal konversi hak barat yang jangka waktunya berakhir pada tanggal 24
September 1980.
Ketentuan-ketentuan mengenai konvensi ini secara garis besar dibagi atas
2 ( dua ) bagian, sesuai dengan sumber
hukum yang berlaku pada saat sebelum berlakunya UUPA, yakni:
a.
Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai konvensi bekas hak-hak yang bersumber pada hukum perdata
barat, seperti: hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, hak vruchtgebruik, hak
gerbuik dan lain sebagainya diatur dalam pasal I sampai VI ketentuan konversi
UUPA. Sedangkan peraturan pelaksanaannya antara lain yaitu:
1. PMA No. 2 Tahun 1960 tanggal 10 Oktober
1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UUPA.
2. PMA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 Desember
1960 tentang Penambahan Ketentuan PMA No. 2 Tahun 1960.
3. PMA No. 13 Tahun 1961 tanggal 23
September 1961 tentang Pelaksanaan Konversi Hk Eigendom dan Hak-hak lainnya
yang aktanya belum diganti.
4. PMA No. 7 Tahun 1965 tanggal 9 September
1965 tentang Pedoman Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom tersebut dalam pasal I
ketentuan konversi UUPA yang dibebani dengan hak opstal atau erfpacht untuk
perumahan.
5. PMDN No. 2 Tahun 1970 tanggal 14 Mei
1970 tentang penyelesaian Konversi
Hak-hak Barat menjadi Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
6. SK. MDN No. 53/DDA/1070 tanggal 21
September 1970 tentang Perpanjangan Jangka Waktu Penyelesaian Konversi Hak-hak Barat menjadi Hak Guna Bangunan dan
Hak Guna Usaha tersebut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1970.
b.
Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai konversi bekas hak-hak yang bersumber pada hukum
Indonesia asli atau hukum adat. Sedangkan peraturan pelaksanaannya antara lain,
yaitu:
1. PMA No. 2 Tahun 1962 tanggal 1 Agustus
1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas
tanah.
2. SK. MDN No. 26/DDA/1970 tanggal 14 Mei
1970 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas
tanah.[9]
2.
Terjadinya Konvers
Pada prinsipnya konversi hak-hak lama menjadi hak
baru sesuai dengan ketentuan UUPA, menurut ketentuan-ketentuan konversi,
terjadinya konversi karena 3 ( tiga )
kemungkinan, yaitu:
a.
Konversi
yang terjadi dengan sendirinya karena hukum. Konversi seperti ini terjadi
dengan sendirinya tanpa diperlukan tindakan dari suatau instansi.
b.
Konversi
yang terjadi setelah diperoleh suatu tindakan. Konversi jenis ini juga terjadi
karena hukum, tetapi karena disertai syarat-syarat tertentu maka diperlukan
suatu tindakanpenegasan yang bersifat deklaratoir. Misalnya konversi hak
eigendom menjadi hak milik.
c.
Konversi
yang terjadi melalui suatu tindakan yang bersifat konstitutif. Pada jenis
Konversi ini, perubahan atas sesuatu hak yang baru bukan terjadi karena hukum,
melainkan memerlukan suatu tindakan khusus yang bersifat konstitutif.
Dalam pasal 14 PMA No. 2 Tahun 1960 menegaskan, jika tanahnya merupaka tanah
perumahan, konversinya menjadi hak guna bangunan, sedangkan kalau tanahnya
tanah pertanan maka dikonversikan menjadi hak guna usaha.
3.
Pelaksanaan Konversi[10]
Pelaksanaan konversi hak atas tanah secara garis
besar diuraikan sebagai berikut:
a.
Hak
eigendom
1. Hak eigendom dikonversi menjadi hak
milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat yang tersebut
ketentuan pasal 21 UUPA;
2. Hak eigendom kepunyaan pemerintah asing
yang digunakan untuk rumah kediaman kepada perwakilan dan gedung kedutaan
menjadi hak pakai;
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing,
orang yang berkewargaan rangkap dalam badan-badan hukum yang tidak ditunjuk
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketntuan pasal 21 ayat 2 ( dua ) UUPA, menjadi hak guna bangunan
sesuai ketentuan pasal 35 ayat 1 ( satu
) UUPA dengan jangka waktu 20 tahun;
4. Jika
hak eigendom dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak
opstal dan hak erfpacht itu menjadi hak guna bangunan.
b.
Hak
atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang
dimaksud pasal 20 ayat 1, yakni hak agrarisch eigendom, milik, yayasan.
Bahwa
hak-hak tersebut di atas yang dipunyai orang asing, orang yang
berkewarganegaraan rangkap dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah
menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peraturan tanahnya.
c.
Hak
erfpacht untuk perusahaan kebun besar dan pertanian kecil dikonversikan menjadi
hak guna usaha diatur dalam pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa
waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
d.
Hak
consessi dan sewa untuk kebun besar, dalam jangka waktu satu tahun harus
mengajukan kepada menteri agraria.
e.
Hak
opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, dikonversi menjadi hak guna bangunan
yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
f.
Hak-hak
atas tanah memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud
dalam pasal 41 ayat 1.
g.
Hak
golongan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap dantidak tetap, Untuk hak
golongan yang bersifat tetap dikonversikan menjadi hak milik, sedangkan yang
bersifat tidak tetap menjadi hak pakai. Bahwa dalam hal ada keraguan mengenai
sifat atau tidak tetap akan diputuskanoleh menteri Agraria.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka kami sebagai pemakalah dapat menyimpulkan bahwa tujuan
dari konvrsi itu adalah usaha-usaha untuk penataan kembali hak-hak adat maupun
hak-hak barat. Ketentuan-ketentuan mengenai konversi ini secara garis besar
dibagi atas 2 ( dua ) bagian, yaitu:
1.
Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai konversi bekas hak-hak yang bersumber pada hukum perdata
baraat,
2.
Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai konversi bejas hak-hakyang bersumber pada hukum
Indonesia asli atau hukum barat.
Selain
itu, terjadnya suatu konversi disebabkan karena 3 ( tiga ) kemungkinan, yaitu:
1.
Konversi
yang terjadi karena sendirinya karena hukum,
2.
Konversi
yang tejadi setelah diperoleh suatu tindakan yang bersifat deklaratoir dari
instansi yang berwenang, dan
3.
Konversi
yang terjadi melaluisuatu tindakan yang bersifat konstitutif.
Pelaksanaan
Konversi hak atas tanah secara garis besar diuraikan sebaggai berikut:
1.
Hak
eigendom,
2.
Hak
atas tanah yang memberi wewenang,
3.
Hak
erfpacht untuk perusahaan kebun besar dan pertanian kecil,
4.
Hak
consenssi dan sewa untuk kebun besar,
5.
Hak
opstal dan hak erfpecht untuk perumahan,
6.
Hak
golongan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan
Penerbit Iblam, cet. Pertama, September 2005
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ( Himpunan
Peraturan-peraturan Hukum Tanah ), Jakarta: Djambatan, 2007
A. P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan
Tata Cara PPAT. Bandung: Alumni, 1982
Sudargo Gautama, Masalah Agraria, Bandung:
Alumni, 1973
[5] B oedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia ( Himpunan Peraturan-paraturan Hukum Tanah ), Jakarta:
Djambatan
[6] Ibid; hlm: 42
[7] Suardi, Hukum
Agraria, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, hlm: 46
[8] Ibid; hlm: 50-54
[9] Suardi, Hukum
Agraria, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, hlm:79, 81, dan85
[10] Ibid; hlm: 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar