Rabu, 26 November 2014

Fikih Siyasah



BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler.
Disamping itu sejarah mencatat bahwa permasalahan prtama yang dipersoalkan oleh organisasi pertama umat Islam sesudah muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat atau juga lazim disebut imamah.
Tidak mengherankan, kalau dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi Muhammad SAW wafat sampai di abad modern ini, umat Islam menampilkan sebagai sistem dan bentuk pemerintahan. Mulai dari bentuk kekhilafahan yang demokrasi sampai kebentuk yang monarkis absolut.
Keragaman dalam peraktek mencuatkan juga konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam, perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dengan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan penafsiran terhadapajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Terjadinya keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tersebut, bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan perbedaan dai intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing.
Untuk memperjelas masalah ini, terutama bagaimana sistem pemerintahan setelah wafatnya Nabi Muhammad, maka kami sbagai pemakalah akan menjelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.




BAB II
KEKUASAAN EKSEKUTIF ( SULTAN TANFIDZIYYAH ) KONSEP
KHILAFAH/KHALIFAH, IMAMAH/IMAM, UMARAH/ AMIR, DAN WIZARAH/WIZAR

A. Pengertian  Khilafah, Imamah, dan Imarah
Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya. Istilah khilafah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti Khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khatab dan seterusnya  untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafah bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan, atau institusi pemerintahan dalam sejarah Islam.
Kata khilafah anolog pula dengan kata imamah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan dan dengan kata imamah yang berarti keamiran pemerintahan.  Imarah sebutan untuk jabatan amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Analog ketiga kata tersebut tampak pula dalam penggunaanya  di dalam kitab – kitab fiqih siyasah.  Tapi istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fikihdari pada istilah imarah. Muhammad Rasyid Ridha juga memberikan pengertian yang sama kepada kata khilafah, imamah,imarah, yaitu suatu pemerintahan untuk menegakan agama dan urusan agama.[1]
Khilafah menurut Ibna Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturamn syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya.  Secara istialahi Imamah adalah kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan duania sebagai pengganti fungsi rasulullah SAW[2]. Imamah menurut Al-Taftazani adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yakni suatu khalifah yang diwarisi dari nabi sedangkan Imamah menurut Al-Mawardi adalah dibentuk unutk menggantikan posisi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.[3]
Pengertian khalifah, Imamah, dan Imarah tersebut baik dari segi  etimologis maupun secara terminologis menunjukan bahwa istilah-istilah itu muncul dalam sejarah islam sebagai sebutan bagi institusi politik untuk menggantikan posisi kenabian dalam urusan agama dan politk. Secara institusi khalifah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah rasulullah dalam memimpin umat Islam setelah beliau wafat. Kemudian pendefinisian khalifah dan Imamah tersebut, memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara agama dan negara, yakni saling memerlukan dalam perkembangan masing-masing.
Khilafah dan imamah mempuyai sejarah yang panjang dan penting di dunia islam. Sebagian telah disebut, institusi khilafah muncul sejak Abu Bakar terpilih sabagai khalifah Rasul dan berlanjut pada masa Umar, Usman, dan Ali. Kemudian terbentuk pula Khalifah Bani Umayah di damaskus dan Spanyol, Khilafah bani Abbasiyah di Bagdad, Khalifah Fatimiyah di Mesir, Khilafah Turki Usmani di Istanbul, terbentuknya khilafah-khilafah tersebut sekaligus telah mengubah sistem dan bentuk pemerintahan dari sistem musyawaqrah pada Khulafa al-Rasyidin kepada sistem dan bentuk dinasti dan monarki. Pemerintahan model khilafah ini tidak dapat dipertahankan eksistensinya oleh umat Islam. Ia berakhir tanggal 3 Maret 1924 setelah pembentukan negara nasional sekuler Republik Turki  pada Oktober 1923 oleh Mustafa Kemal Attatur. Sejak itu binstitusi khilafah yang dipandang sebagai supremasi politik dan simbol kesatuan umat Islam telah lenyap.

B. Pengertian Khalifah, Imam, dan Amir
     1. Khalifah
Seseorang yang melaksanakan fungsi ke khilafahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah Islam disebut Khalifah, imam dan amir. Arti primer kata khalifah yang bentuk pluralnya khulafa dan khalaif yang berasal dari kata khalafa  adalah pengganti yaitu seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan. Menurut istilah dan dalam kenyataan sejarah, khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undangnya dan mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang mulya dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Almaududi mengatakan khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
     2. Imam
Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah Islam adalah Imam. Kata imam turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti pemimpin atau contoh yang harus diikuti. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu didepan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan khalifah  yaitu pengganti Rasul sebagai pemelihara agama dan penenggung jawab urusan umat.[4]
Secara istilah, imam adalah seseorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan dunia sekaligus. kata imam yang bermaksud pemimpin dalam arti luar dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan bagi pemimpin pemerintahan yang mengurus masalah dunia atau politik ( sekuler ) dan atau mengurus masalah agama juga. Kemudian kata imam yang bermaksud pemimpin yang bersifat khusus yakni bagai pemimpin spiritual bisa berimplikasi politis karena dipengaruhi oleh tuntunan keadaan sebab dalam kenyataannya upaya- upaya untuk melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, ajaran agama ( Islam ) tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga menyangkut kehidupan kolektif, urusannya bisa berdimensi politis. Muhammad SAW pada prinsipnya beliau punya tugas tunggal sebagai Nabi dan Rasul ( pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemuadian dalam perkembangan berikutnya, pada priode madinah kedudukan beliau bersifat politis sebagai beliau juga melaksanakan tugas-tugas politik dawn pemerintahan sebagai pemimpin politik ( kepala negara) bagi masyarakat madinah[5].
Pada mulanya penggunaan istiah imam lebih populer dikalangan umat Islam syiah. Imam dalam keyakinan mereka adalah suatu yang sakral sebagai salah satu dasar agama. Pengangkatannya berdasarkan wasiat melalui nash syariat serta menempatkannya pada posisi nabi. Kedudukan iamam dalam pandangan syiah disamping berpungsi sebagai pemimpin spiritual yang sakral juga berfungsi sebagai politik.
    3. Amir
Kata amir diturunkan dari kata amira yang berarti menjadi amir. Amir bermakna pemimpi, dalam kamus inggris diartikan dengan orang yang memerintah, komandan dan raja. Atas dasar makna-makna ini, amir didefinisikan dengan seorang penguasa yang melaksanakan urusan. Bentuk jama’nyaq adalah umara ( para penguasa, para pemimpin, para komandan ).[6]
Istilah amir digunakan untuk gelar bagi jabatan-jabatan penting yang berpariasi dalam sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam.  Secara resmi penggunaankata amir berarti pemimpin komunitas muslim muncul dalam balai Sakifah bani Saidah. Pertemuan kaum anshar  dan muhajirin untuk memusyawarahkan pemimpin umat Islam sebagai pengganti Nabi setelah beliau wafat. Gelar Amir al mu’minin yang setingkat dengan khalifah diguunakan oleh Umar bin Khatab khalifah kedua.     
Selama pemerintahan Islam di madinah, para komandan militer, komandan divisi militer disebut amir yaitu amir al-jaisy atau amir aljund. Para gurbenur pada mulanya adalah para jendral yang menaklukan daerah, juga disebut amir[7]. Tugas utama amir pada mulanya sebagai penguasa daera, pengelola administrasi politik, mengumpulan pajak dan sebagai pemimpin agama.[8] Kemudian pada masa pasca Rasul tugasnya bertambah meliputi pemimpin ekspedisI-ekspedisi  militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan daerah taklukan Islam, membangun masjid, jadi imam shalat dan khatib dalam shalat jumat, mengurus administrasi pengadilan, dan selain itu bertanggung jawab pada khalifah di Madinah.
Pada masa dinasti Umayah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerahnprovinsi yang juga disebut wali ( hakim, penguasa, dan pemerintah).  Dan tugasnya pun mulai dibedakan dan di dampingi pejabat yang dia angkat. Amir juga diberi wewenang mengangkat wakilnya di daerah-daerah atas persetujuan khalifah. Tapi ada juga yang langsung diangkat oleh khalifah. Selain itu amir juga bertugas mengawasi percetakan uang, mengatur sistem penarikan pajak , memimpin delegasi uuntuk menyampaikan baiat kepada khalifah yang baru diangkat, membangun sarana-sarana umum, seperti jembatan, kanal, jalan dan mengirimkan sebagian penghasilan daerah ke Damaskus.
Pada masa dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gurbenur juga disebut amir. Pada umumnya tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil dan keuangania di dampingi oleh pejabat keuangan yang disebut amil.

C. Sistem Pemerintahan  Dalam Islam
Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah ( khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki ), imamah, monarki dan demokrasi.[9]
1. Sistem Pemerintahan Khilafah
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teitorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Pada intinya, khilifah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW. Menurut Ibnu Khaldun, kekhalifahan adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakan hukum-hukum syariat Islam dan memikul da’wah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan khilifah adalah kewajiban bagi semua kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.[10]
Berdasarkan ijma’ sahabat, wajib hukunmya mendirrikan kekhalifahan. Setelah Rasulullah SAW wafat, mereka bersepakat untuk mendirikan kekhalifahan bagi Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sesudah masing-masing dari ketiganya wafat maka para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban mendirikan kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi Muhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah ( kekhalifahan ). Orang yang menjalankan tugas it disebut khalifah.
2. Khilafah Berdasarkan Syura
Sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah berdasarkan syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memimpin umat Islam di beberapa kawasan yang didasarkan pada sistem musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaannya.
Setelah Rasulullah SAW wafat, maka khilafah yang timbul tidak berbentuk kerajaan, tetapi lebih dekat sistem republik, dalam arti kepala negara dipilih dan tidak berdasarkan turun-temurun. Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah berlangsung dari tahun 11 H/632 M-13 H/634 M,pada masa ini merupakan terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah. Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua, Umar menjadi Khalifah tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melainkan melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya,Umar bin Khattab menjadi khalifah  dari tahun 13 H/ 634 M-23H/644 M. Sementara itu, Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga yaitu dari tahun 23 H/644 M-35 H/656 M, yangmana dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari enam orang yang ditentukan oleh Umar sebelum wafat.[11] Sepeninggalnya Umar, maka Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah keempat melalui pemilihan, sementara kepemimpinannya itu berlangsung dari tahun 35 H/656 M-40 H/661 M.
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannyakepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai denagn apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
3. Khilafah Monarki
Pasca berakhirnya masa al-Khulafah al-Rasyidun, kekhilifahan dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah pertama. Sistem monarki, menerapkan sistem waris ( putra mahkota ) dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putramahkota dari orang tuanya. Kedudukan sebagai raja adaalh suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi, dan juga kepuasan lahir dan batin.[12]
Sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasaan. Seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang yang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat, hal ini dapat dilihat karena raja memiliki kebebasan hukum, dan kekuasaan kenegaraan tak terbatas.
Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi khilafah monarki ini terjadi ketika Muawiyah melantik puteranya Yazid sebagai Khalifahatas saran Mughirahbin Syu’bah.[13] Lebih lanjut Hasan Basri mengatakan , karena rencana inilah kepala-kepala negara menjadikan pemerintahan turun-temurun kepada putera-putrinya.
Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani yang timbul di Istambul pada tahun 699 H/1299 M yang dipimpin oleh Utsman I yang kemudian terkenal denagn sebutan Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah hingga 1342 H/1924 M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid II.[14]
3. Imamah
Pada awalnya, imamah adalah suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah negara. Dalam literatur-literatur klasik, istilah imamah dan khilafah disandingkan secara bersamaan untuk menunjuk pada pengertian yang sama, yakni negara dalam sejarah Islam. Tetapi dalam perkembangannya imamah kemudian menjadi istilah khusus yang dipergunakan di kalangan Syi’ah yang dikontekstualkan dalam bentuk wilayah al-faqih.
Imamah adalah institusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang paling tahu siapa yang memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini. Oleh karena itu hanya Allah lah yang mampu menunjuk mereka. Para imam yang otoritasnya dibentuk atas pengukuhan secara eksplisit dari Nabi mendelegasikan dan mempercayakan suatu derajat tertentu dari otoritasnya pada mereka yang memiliki kualitas spesifik ( seperti keadilan dan kemampuan jurisprudensi fuqaha ).

D. Wazir
Kata wajir terdapat al-Qur’an dan as-Sunnah. Di dalam al-Qur’an surat Ai-Furqan, wazir secara jelas disebutkan dalam konteks Nabi Harun yang diangkat menjadi wazir-nya Nabi Musa, sebagaiman firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan berikut:
ôs)s9ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tFÅ6ø9$# $oYù=yèy_ur ÿ¼çmyètB çn%s{r& šcr㍻yd #\ƒÎur ÇÌÎÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan Al kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai Dia sebagai wazir (pembantu)”. ( Qs. Al-Furqan: 35 )
Jika wazir diperbolehkan di dalam masalah-masalah kenabian, maka lebih-lebih diperbolehkan adanya wazir di dalam imamah. Wazir adalah orang yang diangkat oleh penguasa tertinggi pemerintah yang mengemban tugas-tugas berat, membantunya memberi saran dan menjadi rujukan dalam masalah-masalah tertentu. Jabatan inilah yang disebut wizarah.
Pada masa Dinasti Umayyah, wizarah merupakan pangkat paling tinggi di seluruh dinasti tersebut. Wazir memiliki hak pengawasan umum terhadap semua persoalan, di samping bertindak dengan kekuatan konsultatif dan semua persoalan lain yang sifatnya defensif atau ofensif. Dia juga mempunyai hak pengawasan terhadap departemen kemiliteran, kewajiban membagi gaji militer pada setiap permulaan bulan.
Pada Dinasti Abbasiyah muncul, kedaulatan ( kekuasaan raja ) berkembang. Pangkat-pangkat kerajaan semakin banyak dan tinggi. Waktu itu kedudukan wazir semakin besar dan bertambah penting. Dia menjadi utusan dalam melaksanakan kekuasaan eksekutif. Pangkatnya menarik perhatian orang sebab setiap orang tunduk kepadanya. Pengawasan terhadap tata buku dipercayakan kepada wazir, sebab fungsinya menurut supaya membagi gaji tentara, untuk menjaga rahasia-rahasia raja dan memelihara gaya bahasa yang baik, karena pada waktu itu bahasa rakyat banyak yang rusak. Khatam diletakkan pada dokumen-dokumen raja, untuk memeliharanya supaya tidak tersebar secara umum, maka untuk menjaganya itu dipercayakan kepada wazir.
Kemudian Daulah Bani Abbas memasuki periode ketika kontrol penuh terhadap raja telah dilakukan oleh orang lain, kadang-kadang kontrol itu berada ditangan wazir kadang di tangan raja.[15] Ketika wazir memperoleh kontrol penuh, dia perlu menunjuk khalifah untuk menjadi utusannya dalam mengurusi persoalan agama agar hukum syariat benar-benar terlaksana.
Pada waktu itu, wizarah telah terbagi kepada wizarah eksekutif ( wizarah tanfiz ) dan initerjadi ketika raja mengontrol sendiri persoalan yang dihadapinya (dan wazir melaksanakan keputusan-keputusan ). Kemudian wizarah utusan ( wizarah tafwidl ), yang terjadi ketika wazir menguasai raja dan khalifah diutus untuk melaksanakan tugas-tugas khalifah. Hal ini menyebabkan timbulnyapendapat yang berbeda apakah dua wazir akan ditunjuk dalam waktu yang sama dalam wizarah utusan.
Adapun perbedaan antara wizarah tanfidz dan wizarah tafwidl adalah sebagai berikut:
1.      Wizarah tafwidl boleh ikut campur dalam masalah peradilan, sedangkan wizarah tanfidz tidak boleh.
2.      Wizarah tafwidl boleh mengangkatgubernur dan pejabat-pejabattinggi negara, wizarah tanfidz tidak boleh.
3.      Wizarah tafwidl bisa menjadi panglima tertinggi dan mengumumkan perang, wizarah tanfidz tidak mempunyai kekuasaan seperti itu.
4.      Wizarah tafild mempunyai wewenang untuk menguasai harta negara dan mengeluarkan dari baitul mal, sedangkan wizarah tanfidz tidak mempunyai wewenang seperti itu.
Dari perbedaan tugas tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan di dalam persyaratan bagiwizarah tafwidl dan wizarah tanfidz. Adapun perbedaan-perbedaannya itu adalah sebagai berikut:
1.      Wizarah tafwidl haruslah orang-orang yang beragama Islam, wizarah tanfidz bisa nonmuslim.
2.      Wizarah tafwidl di syariatkan tahu tentang hukum-hukum Islam.
3.      Tahu tentang syrategi dan taktik perang dan tahu cara-cara menguruskeuangan negara menjadi persyaratan untuk wizarah tafwidl dan tidak jadi syarat untuk wizarah tanfidz.
Dengan demikian, kekuasaan wizarah tafwidl ini amat besar dan perlu dibedakan dengaikut:n kekuasaan imam. Adapun perbedaan-perbedaannya itu adalah sebagai berikut:
1.      Imam bisa menunjuk pengganngtinya, seperti kasua penunjukan Umar oleh Abu Bakar, wizarah tafwild tidak bisa melakukan hal yang seperti itu.
2.      Imam bisa meletakan jabatan dengan langsung kepada rakyatnya, wizarah tafwidl tidak bisa.
3.      Imam bisa mencatat orang-orang yang diangkat oleh wizarah tafwild dan wizarah tafwidl tidak bisa meena amir mencacatat orang-orang yang diangkat oleh imam.
Seorang wazir pada masa Bani Abbasiyah telah menikmati kekuasaan luas seperti kekuasaan khalifah, mengangkat pejabat dan memberhentikannya, mengawasi peradilan, pemasukan negara dan lain-lain.
Ketika dinasti Turki muncul di Mesir, raja-raja mesir mempermaklumkan bahwa wizarah telah kehilangan identitasnya, karena para amir mencampakkannya kepada orang-orang yang cenderung memilikinya demi mengabdi khalifah yang terbuang, dan tidak lagi mempunyai kekuasaan.
Dalam daulah Turki, wazir bertugas mengumpulkan berbagai bentuk pajak tanah, bea cukai, dan pajak untuk memperoleh hak memilih. Dia juga mendisposisikan pendapatan pajak untuk belanja negara, dan gaji yang telah ditetapkan untuk para tentara dan para penjabat pemerintahan. Bersama itu, dia dapat mengangkat dan mencatat penjabat resmi, apapun pangkat dan golongan mereka, yang berhubungan dengan pengumpulan dan pengeluaran pajak.[16]
BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya dalam pemakaian istilah khilafah  yaitu pemerintahan, atau institusi pemerintahan dalam sejarah Islam.





















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI,Al-Quran dan Terjemah
                Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, ( Bandung, Husain, 1988 ),
                Syarif Mujir Ibnu dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama,2008
Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ), PT RajaGrafindo Persada, 1999
Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia ( Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Repormasi ), Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Cet. Pertama Desember 2008


              [1] Rasyid Ridha, Al-Khilafat wa al-Imamat al-‘Uzhmat, Al-Manar, Al-Qahirat, hlm 10
              [2] Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimat, Dar al-Fikr, hlm 134
                   [3] Ali Abd al-Raziq, Al-Islam Ushul al-Huk,Al-Qahiat, 1925, hlm. 2
                   [4] Idid; hlm: 15
                   [5] Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ), PT RajaGrafindo Persada, 1999, hlm. 48-49
                     [6] Ibrahim Zaki Khursyid ( penerjemah ), Dairat al-Ma’arif al-Islamayat, Jilid II, tanpa nama penerbit, hlm. 649
                     [7]  Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ), PT RajaGrafindo Persada, 1999, hlm. 65
                     [8] Ibid; hlm:66
                   [9] Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama, hlm. 204
                    [10] Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, ( Bandung, Husain, 1988 ), hlm. 18-19
                    [11] Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama, hlm. 207
                    [12] Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan pemikiran, hlm. 23-24
                    [13]  Ibid; hlm. 209
                         14  Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama, hlm. 210
                     [15] Ibid; hlm. 308-309
                     16  Mujir Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama, hlm. 311-313



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar