BAB
I
PENDAHULUAN
Hubungan
agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik oleh
golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang
berpandangan sekuler.
Disamping
itu sejarah mencatat bahwa permasalahan prtama yang dipersoalkan oleh
organisasi pertama umat Islam sesudah muhammad Rasulullah wafat adalah masalah
kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat atau juga lazim
disebut imamah.
Tidak
mengherankan, kalau dalam pentas perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi
Muhammad SAW wafat sampai di abad modern ini, umat Islam menampilkan sebagai
sistem dan bentuk pemerintahan. Mulai dari bentuk kekhilafahan yang demokrasi
sampai kebentuk yang monarkis absolut.
Keragaman
dalam peraktek mencuatkan juga konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para
tokoh pemikir tentang politik Islam, perbedaan konsep dan pemikiran ini
bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama
dengan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan penafsiran
terhadapajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Terjadinya
keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tersebut, bukan hanya
dipengaruhi oleh ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi
lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat
perkembangan perbedaan dai intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran
asing.
Untuk
memperjelas masalah ini, terutama bagaimana sistem pemerintahan setelah
wafatnya Nabi Muhammad, maka kami sbagai pemakalah akan menjelaskan lebih
lanjut pada bab berikutnya.
BAB
II
KEKUASAAN
EKSEKUTIF ( SULTAN TANFIDZIYYAH ) KONSEP
KHILAFAH/KHALIFAH,
IMAMAH/IMAM, UMARAH/ AMIR, DAN WIZARAH/WIZAR
A.
Pengertian Khilafah, Imamah, dan Imarah
Kata
khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan
orang lain sebagai penggantinya. Istilah khilafah sebutan bagi suatu
pemerintahan pada masa tertentu, seperti Khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin
Khatab dan seterusnya untuk melaksanakan
wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafah bisa
mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan, atau institusi
pemerintahan dalam sejarah Islam.
Kata
khilafah anolog pula dengan kata imamah yang berarti keimaman, kepemimpinan,
pemerintahan dan dengan kata imamah yang berarti keamiran pemerintahan. Imarah sebutan untuk jabatan amir dalam suatu
negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir.
Analog ketiga kata tersebut tampak pula dalam penggunaanya di dalam kitab – kitab fiqih siyasah. Tapi istilah khilafah dan imamah lebih populer
pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fikihdari pada istilah imarah.
Muhammad Rasyid Ridha juga memberikan pengertian yang sama kepada kata
khilafah, imamah,imarah, yaitu suatu pemerintahan untuk menegakan agama dan
urusan agama.[1]
Khilafah
menurut Ibna Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh
peraturamn syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat
dengan merujuk kepadanya. Secara
istialahi Imamah adalah kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan
keagamaan dan urusan duania sebagai pengganti fungsi rasulullah SAW[2]. Imamah
menurut Al-Taftazani adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia
yakni suatu khalifah yang diwarisi dari nabi sedangkan Imamah menurut
Al-Mawardi adalah dibentuk unutk menggantikan posisi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur dunia.[3]
Pengertian
khalifah, Imamah, dan Imarah tersebut baik dari segi etimologis maupun secara terminologis
menunjukan bahwa istilah-istilah itu muncul dalam sejarah islam sebagai sebutan
bagi institusi politik untuk menggantikan posisi kenabian dalam urusan agama
dan politk. Secara institusi khalifah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar
sebagai khalifah rasulullah dalam memimpin umat Islam setelah beliau wafat.
Kemudian pendefinisian khalifah dan Imamah tersebut, memperlihatkan adanya
hubungan timbal balik antara agama dan negara, yakni saling memerlukan dalam
perkembangan masing-masing.
Khilafah
dan imamah mempuyai sejarah yang panjang dan penting di dunia islam. Sebagian
telah disebut, institusi khilafah muncul sejak Abu Bakar terpilih sabagai
khalifah Rasul dan berlanjut pada masa Umar, Usman, dan Ali. Kemudian terbentuk
pula Khalifah Bani Umayah di damaskus dan Spanyol, Khilafah bani Abbasiyah di
Bagdad, Khalifah Fatimiyah di Mesir, Khilafah Turki Usmani di Istanbul,
terbentuknya khilafah-khilafah tersebut sekaligus telah mengubah sistem dan
bentuk pemerintahan dari sistem musyawaqrah pada Khulafa al-Rasyidin kepada
sistem dan bentuk dinasti dan monarki. Pemerintahan model khilafah ini tidak
dapat dipertahankan eksistensinya oleh umat Islam. Ia berakhir tanggal 3 Maret
1924 setelah pembentukan negara nasional sekuler Republik Turki pada Oktober 1923 oleh Mustafa Kemal Attatur.
Sejak itu binstitusi khilafah yang dipandang sebagai supremasi politik dan
simbol kesatuan umat Islam telah lenyap.
B.
Pengertian Khalifah, Imam, dan Amir
1. Khalifah
Seseorang
yang melaksanakan fungsi ke khilafahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah
Islam disebut Khalifah, imam dan amir. Arti primer kata khalifah yang bentuk
pluralnya khulafa dan khalaif yang berasal dari kata khalafa adalah pengganti yaitu seseorang yang
menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan. Menurut istilah dan
dalam kenyataan sejarah, khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam
tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap
mengikuti undang-undangnya dan mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang
mulya dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara
agama dan mengatur dunia. Almaududi mengatakan khalifah adalah pemimpin
tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
2. Imam
Sebutan
gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah Islam adalah Imam. Kata imam
turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti pemimpin
atau contoh yang harus diikuti. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu
didepan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan
khalifah yaitu pengganti Rasul sebagai
pemelihara agama dan penenggung jawab urusan umat.[4]
Secara
istilah, imam adalah seseorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama
dan dunia sekaligus. kata imam yang bermaksud pemimpin dalam arti luar dan
bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan bagi pemimpin pemerintahan yang
mengurus masalah dunia atau politik ( sekuler ) dan atau mengurus masalah agama
juga. Kemudian kata imam yang bermaksud pemimpin yang bersifat khusus yakni
bagai pemimpin spiritual bisa berimplikasi politis karena dipengaruhi oleh
tuntunan keadaan sebab dalam kenyataannya upaya- upaya untuk melaksanakan
ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, ajaran agama ( Islam ) tidak hanya
menyangkut pribadi tapi juga menyangkut kehidupan kolektif, urusannya bisa
berdimensi politis. Muhammad SAW pada prinsipnya beliau punya tugas tunggal
sebagai Nabi dan Rasul ( pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk
disampaikan kepada umat manusia. Kemuadian dalam perkembangan berikutnya, pada
priode madinah kedudukan beliau bersifat politis sebagai beliau juga
melaksanakan tugas-tugas politik dawn pemerintahan sebagai pemimpin politik (
kepala negara) bagi masyarakat madinah[5].
Pada
mulanya penggunaan istiah imam lebih populer dikalangan umat Islam syiah. Imam
dalam keyakinan mereka adalah suatu yang sakral sebagai salah satu dasar agama.
Pengangkatannya berdasarkan wasiat melalui nash syariat serta menempatkannya
pada posisi nabi. Kedudukan iamam dalam pandangan syiah disamping berpungsi
sebagai pemimpin spiritual yang sakral juga berfungsi sebagai politik.
3. Amir
Kata
amir diturunkan dari kata amira yang berarti menjadi amir. Amir bermakna
pemimpi, dalam kamus inggris diartikan dengan orang yang memerintah, komandan
dan raja. Atas dasar makna-makna ini, amir didefinisikan dengan seorang
penguasa yang melaksanakan urusan. Bentuk jama’nyaq adalah umara ( para
penguasa, para pemimpin, para komandan ).[6]
Istilah
amir digunakan untuk gelar bagi jabatan-jabatan penting yang berpariasi dalam
sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam. Secara resmi penggunaankata amir berarti
pemimpin komunitas muslim muncul dalam balai Sakifah bani Saidah. Pertemuan
kaum anshar dan muhajirin untuk
memusyawarahkan pemimpin umat Islam sebagai pengganti Nabi setelah beliau
wafat. Gelar Amir al mu’minin yang setingkat dengan khalifah diguunakan oleh
Umar bin Khatab khalifah kedua.
Selama
pemerintahan Islam di madinah, para komandan militer, komandan divisi militer
disebut amir yaitu amir al-jaisy atau amir aljund. Para gurbenur pada mulanya
adalah para jendral yang menaklukan daerah, juga disebut amir[7]. Tugas
utama amir pada mulanya sebagai penguasa daera, pengelola administrasi politik,
mengumpulan pajak dan sebagai pemimpin agama.[8]
Kemudian pada masa pasca Rasul tugasnya bertambah meliputi pemimpin ekspedisI-ekspedisi militer, menandatangani perjanjian damai,
memelihara keamanan daerah taklukan Islam, membangun masjid, jadi imam shalat
dan khatib dalam shalat jumat, mengurus administrasi pengadilan, dan selain itu
bertanggung jawab pada khalifah di Madinah.
Pada
masa dinasti Umayah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerahnprovinsi
yang juga disebut wali ( hakim, penguasa, dan pemerintah). Dan tugasnya pun mulai dibedakan dan di
dampingi pejabat yang dia angkat. Amir juga diberi wewenang mengangkat wakilnya
di daerah-daerah atas persetujuan khalifah. Tapi ada juga yang langsung
diangkat oleh khalifah. Selain itu amir juga bertugas mengawasi percetakan
uang, mengatur sistem penarikan pajak , memimpin delegasi uuntuk menyampaikan
baiat kepada khalifah yang baru diangkat, membangun sarana-sarana umum, seperti
jembatan, kanal, jalan dan mengirimkan sebagian penghasilan daerah ke Damaskus.
Pada
masa dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gurbenur juga disebut amir. Pada
umumnya tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi
urusan sipil dan keuangania di dampingi oleh pejabat keuangan yang disebut
amil.
C.
Sistem Pemerintahan Dalam Islam
Dalam
rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat
Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem
pemerintahan khilafah ( khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki ),
imamah, monarki dan demokrasi.[9]
1.
Sistem Pemerintahan Khilafah
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi
oleh teitorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa.
Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Pada
intinya, khilifah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan
kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW. Menurut Ibnu Khaldun, kekhalifahan
adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakan
hukum-hukum syariat Islam dan memikul da’wah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan
khilifah adalah kewajiban bagi semua kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.[10]
Berdasarkan ijma’ sahabat, wajib hukunmya mendirrikan
kekhalifahan. Setelah Rasulullah SAW wafat, mereka bersepakat untuk mendirikan
kekhalifahan bagi Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sesudah masing-masing dari
ketiganya wafat maka para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas
kewajiban mendirikan kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi
Muhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah ( kekhalifahan ).
Orang yang menjalankan tugas it disebut khalifah.
2.
Khilafah Berdasarkan Syura
Sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah berdasarkan
syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka
memimpin umat Islam di beberapa kawasan yang didasarkan pada sistem musyawarah
sebagai paradigma dasar kekuasaannya.
Setelah
Rasulullah SAW wafat, maka khilafah yang timbul tidak berbentuk kerajaan,
tetapi lebih dekat sistem republik, dalam arti kepala negara dipilih dan tidak berdasarkan
turun-temurun. Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah berlangsung dari tahun 11
H/632 M-13 H/634 M,pada masa ini merupakan terbentuknya pemerintahan model
khilafah dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah. Sepeninggal Abu Bakar,
Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua, Umar menjadi
Khalifah tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi
melainkan melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya,Umar bin Khattab
menjadi khalifah dari tahun 13 H/ 634 M-23H/644
M. Sementara itu, Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga yaitu dari tahun 23
H/644 M-35 H/656 M, yangmana dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari
enam orang yang ditentukan oleh Umar sebelum wafat.[11]
Sepeninggalnya Umar, maka Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah keempat
melalui pemilihan, sementara kepemimpinannya itu berlangsung dari tahun 35
H/656 M-40 H/661 M.
Ciri
yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada
mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. Tidak ada satupun dari
empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannyakepada sanak kerabatnya.
Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai denagn
apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
3.
Khilafah Monarki
Pasca berakhirnya masa al-Khulafah al-Rasyidun,
kekhilifahan dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi
Sofyan sebagai khalifah pertama. Sistem monarki, menerapkan sistem waris (
putra mahkota ) dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang
putramahkota dari orang tuanya. Kedudukan sebagai raja adaalh suatu kedudukan
yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang
kedudukan itu segala kekayaan duniawi, dan juga kepuasan lahir dan batin.[12]
Sistem
monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral
kekuasaan. Seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Perkataan raja
adalah undang-undang yang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak
khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat, hal ini dapat dilihat karena raja
memiliki kebebasan hukum, dan kekuasaan kenegaraan tak terbatas.
Berubahnya
khilafah berdasarkan syura menjadi khilafah monarki ini terjadi ketika Muawiyah
melantik puteranya Yazid sebagai Khalifahatas saran Mughirahbin Syu’bah.[13]
Lebih lanjut Hasan Basri mengatakan , karena rencana inilah kepala-kepala
negara menjadikan pemerintahan turun-temurun kepada putera-putrinya.
Sistem
khilafah monarki terus berlanjut hingga kekuasaan Islam dipegang oleh Turki
Usmani yang timbul di Istambul pada tahun 699 H/1299 M yang dipimpin oleh
Utsman I yang kemudian terkenal denagn sebutan Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini
memerintah hingga 1342 H/1924 M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid II.[14]
3.
Imamah
Pada
awalnya, imamah adalah suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah negara.
Dalam literatur-literatur klasik, istilah imamah dan khilafah disandingkan
secara bersamaan untuk menunjuk pada pengertian yang sama, yakni negara dalam
sejarah Islam. Tetapi dalam perkembangannya imamah kemudian menjadi istilah
khusus yang dipergunakan di kalangan Syi’ah yang dikontekstualkan dalam bentuk
wilayah al-faqih.
Imamah
adalah institusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang paling tahu
siapa yang memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini.
Oleh karena itu hanya Allah lah yang mampu menunjuk mereka. Para imam yang
otoritasnya dibentuk atas pengukuhan secara eksplisit dari Nabi mendelegasikan
dan mempercayakan suatu derajat tertentu dari otoritasnya pada mereka yang memiliki
kualitas spesifik ( seperti keadilan dan kemampuan jurisprudensi fuqaha ).
D.
Wazir
Kata
wajir terdapat al-Qur’an dan as-Sunnah. Di dalam al-Qur’an surat Ai-Furqan,
wazir secara jelas disebutkan dalam konteks Nabi Harun yang diangkat menjadi
wazir-nya Nabi Musa, sebagaiman firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan berikut:
ôs)s9ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tFÅ6ø9$# $oYù=yèy_ur ÿ¼çmyètB çn%s{r& crã»yd #\Îur ÇÌÎÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan Al kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami
telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai Dia sebagai wazir (pembantu)”. (
Qs. Al-Furqan: 35 )
Jika
wazir diperbolehkan di dalam masalah-masalah kenabian, maka lebih-lebih
diperbolehkan adanya wazir di dalam imamah. Wazir adalah orang yang diangkat
oleh penguasa tertinggi pemerintah yang mengemban tugas-tugas berat,
membantunya memberi saran dan menjadi rujukan dalam masalah-masalah tertentu.
Jabatan inilah yang disebut wizarah.
Pada
masa Dinasti Umayyah, wizarah merupakan pangkat paling tinggi di seluruh
dinasti tersebut. Wazir memiliki hak pengawasan umum terhadap semua persoalan,
di samping bertindak dengan kekuatan konsultatif dan semua persoalan lain yang
sifatnya defensif atau ofensif. Dia juga mempunyai hak pengawasan terhadap
departemen kemiliteran, kewajiban membagi gaji militer pada setiap permulaan
bulan.
Pada
Dinasti Abbasiyah muncul, kedaulatan ( kekuasaan raja ) berkembang.
Pangkat-pangkat kerajaan semakin banyak dan tinggi. Waktu itu kedudukan wazir
semakin besar dan bertambah penting. Dia menjadi utusan dalam melaksanakan
kekuasaan eksekutif. Pangkatnya menarik perhatian orang sebab setiap orang
tunduk kepadanya. Pengawasan terhadap tata buku dipercayakan kepada wazir,
sebab fungsinya menurut supaya membagi gaji tentara, untuk menjaga
rahasia-rahasia raja dan memelihara gaya bahasa yang baik, karena pada waktu
itu bahasa rakyat banyak yang rusak. Khatam diletakkan pada dokumen-dokumen
raja, untuk memeliharanya supaya tidak tersebar secara umum, maka untuk
menjaganya itu dipercayakan kepada wazir.
Kemudian
Daulah Bani Abbas memasuki periode ketika kontrol penuh terhadap raja telah
dilakukan oleh orang lain, kadang-kadang kontrol itu berada ditangan wazir
kadang di tangan raja.[15]
Ketika wazir memperoleh kontrol penuh, dia perlu menunjuk khalifah untuk
menjadi utusannya dalam mengurusi persoalan agama agar hukum syariat
benar-benar terlaksana.
Pada
waktu itu, wizarah telah terbagi kepada wizarah eksekutif ( wizarah tanfiz )
dan initerjadi ketika raja mengontrol sendiri persoalan yang dihadapinya (dan
wazir melaksanakan keputusan-keputusan ). Kemudian wizarah utusan ( wizarah
tafwidl ), yang terjadi ketika wazir menguasai raja dan khalifah diutus untuk
melaksanakan tugas-tugas khalifah. Hal ini menyebabkan timbulnyapendapat yang
berbeda apakah dua wazir akan ditunjuk dalam waktu yang sama dalam wizarah
utusan.
Adapun
perbedaan antara wizarah tanfidz dan wizarah tafwidl adalah sebagai berikut:
1.
Wizarah
tafwidl boleh ikut campur dalam masalah peradilan, sedangkan wizarah tanfidz
tidak boleh.
2.
Wizarah
tafwidl boleh mengangkatgubernur dan pejabat-pejabattinggi negara, wizarah
tanfidz tidak boleh.
3.
Wizarah
tafwidl bisa menjadi panglima tertinggi dan mengumumkan perang, wizarah tanfidz
tidak mempunyai kekuasaan seperti itu.
4.
Wizarah
tafild mempunyai wewenang untuk menguasai harta negara dan mengeluarkan dari
baitul mal, sedangkan wizarah tanfidz tidak mempunyai wewenang seperti itu.
Dari
perbedaan tugas tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan di dalam persyaratan
bagiwizarah tafwidl dan wizarah tanfidz. Adapun perbedaan-perbedaannya itu
adalah sebagai berikut:
1.
Wizarah
tafwidl haruslah orang-orang yang beragama Islam, wizarah tanfidz bisa
nonmuslim.
2.
Wizarah
tafwidl di syariatkan tahu tentang hukum-hukum Islam.
3.
Tahu
tentang syrategi dan taktik perang dan tahu cara-cara menguruskeuangan negara
menjadi persyaratan untuk wizarah tafwidl dan tidak jadi syarat untuk wizarah
tanfidz.
Dengan
demikian, kekuasaan wizarah tafwidl ini amat besar dan perlu dibedakan
dengaikut:n kekuasaan imam. Adapun perbedaan-perbedaannya itu adalah sebagai
berikut:
1.
Imam
bisa menunjuk pengganngtinya, seperti kasua penunjukan Umar oleh Abu Bakar,
wizarah tafwild tidak bisa melakukan hal yang seperti itu.
2.
Imam
bisa meletakan jabatan dengan langsung kepada rakyatnya, wizarah tafwidl tidak
bisa.
3.
Imam
bisa mencatat orang-orang yang diangkat oleh wizarah tafwild dan wizarah
tafwidl tidak bisa meena amir mencacatat orang-orang yang diangkat oleh imam.
Seorang
wazir pada masa Bani Abbasiyah telah menikmati kekuasaan luas seperti kekuasaan
khalifah, mengangkat pejabat dan memberhentikannya, mengawasi peradilan, pemasukan
negara dan lain-lain.
Ketika
dinasti Turki muncul di Mesir, raja-raja mesir mempermaklumkan bahwa wizarah
telah kehilangan identitasnya, karena para amir mencampakkannya kepada
orang-orang yang cenderung memilikinya demi mengabdi khalifah yang terbuang,
dan tidak lagi mempunyai kekuasaan.
Dalam
daulah Turki, wazir bertugas mengumpulkan berbagai bentuk pajak tanah, bea
cukai, dan pajak untuk memperoleh hak memilih. Dia juga mendisposisikan
pendapatan pajak untuk belanja negara, dan gaji yang telah ditetapkan untuk
para tentara dan para penjabat pemerintahan. Bersama itu, dia dapat mengangkat
dan mencatat penjabat resmi, apapun pangkat dan golongan mereka, yang
berhubungan dengan pengumpulan dan pengeluaran pajak.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
penjelasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya dalam
pemakaian istilah khilafah yaitu
pemerintahan, atau institusi pemerintahan dalam sejarah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama RI,Al-Quran dan Terjemah
Samih Athief az-Zain, Syariat
Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi
Perbandingan, ( Bandung, Husain, 1988 ),
Syarif Mujir Ibnu dan Khamami
Zada, Fikih Siyasah, PT Gelora Aksara Pratama,2008
Suyuthi
Pulungan, Fikih Siyasah ( Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran ), PT
RajaGrafindo Persada, 1999
Halim
Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia ( Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Repormasi ), Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama RI, Cet. Pertama Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar