HUKUM
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Dagang
Dosen Pembimbing:
Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
Disusun Oleh:
Tajul Muttaqin
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A VIIB
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431H/2010M
DAFTAR
ISI
Daftar Isi.................................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................5
1. Kepailitan................................................................................................5
2. Penundaan
Pembayaran.........................................................................18
3. Perbedaan Antara Kepailitan Dengan
Penundaan Pembayaran............23
BAB III
KESIMPULAN.....................................................................................26
Daftar Pustaka......................................................................................................28
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebelum
menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan, penundaan pembayaran, dan apa
perbedaan antara keduanya itu, maka terlebih dahulu kami sebagai pemakalah akan
menjelaskan sekilas tentang penyelesaian kepailitan sebelum di berlakukannya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan.
Sebelum
berlakunya Undang-undang No 4 Tahun 1998 tentang kepailitan, maka cara untuk
penyelesaian perkara tentang kepailitan itu diselesaikan oleh pengadilan negeri
yang merupakan bagian dari sebuah peradilan umum sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.[1]
Setelah
ditetapkan dan berlakunya Undang-undang kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, maka
untuk penyelesaian perkara kepailitan tersebut diperiksa dan diputus oleh
pengadilan niaga yang berada di lingkungan peradilan umum. Pembentukan
pengadilan niaga dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan dan
kesiapan sumber daya yang diperlukan[2].
Di
sisi lain, kita juga mengenal dengan adanya penyelesaian sengketa di luar
lembaga peradilan formal, yakni yang dikenal dengan penyelesaian sengketa
alternatif atau bisa juga disebut dengan arbitrase. Arbitrasa adalah cara
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang mendasarkan pada
perjanjian arbitrase yang disebut secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Adapun sengketa yang dapat dibawa ke arbitrase adalah sengketa
perdata yang bersifat hukum perdata dan hukum dagang.[3]
Pada
dasarnya institusi arbitrase ini bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan, akantetapi masih ada beberapa alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga
arbitrase, misalnya dengan cara: negosiasi,mediasi, pencari fakta, dan
sebagainya.[4]
Menurut
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase, apabila ada sengketa perdata
dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausul arbitrase harus diselesaikan oleh lembaga arbitrase dan pengadilan negeri
wajib menolaknya dan menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya.[5]
BAB II
PEMBAHASAB
1. KEPAILITAN
A. Pengertian Pailit
Menurut
Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang
berarti kemacetan pembayaran. Dalam
peraturan kepailitan yang lama, yang dimaksud dengan pailit adalah setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan
sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur),
dengan putusan hakim dinyatakan pailit.[6]
Sedangkan
menurut UUK yang baru yakni UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan,[7]
bahwa yang dimaksud dengan pailit adalah sita umum atas semua kekeyaaan debitor
palit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih
sama dengan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, hanya pengaturan pasalnya saja
yang berubah yaitu dalam pasal 2 ayat (1) UUK Nomor 37 Tahun 2004.[8]
Dilihat
dari beberapa arti atau pengertian kepailitan di atas, maka esensi kepailitan
secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur
untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit
mempunyai utang.[9]
Pailit juga dapat diartikan juga dengan keadaan berhenti membayar
(utang-utangnya). Berhenti membayar utang di sini bukan berarti bahwa si debitur
berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debtur tersebut
pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak membayar utang
tersebut.[10]
Selain
itu, pailit dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan juga sebagai
keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar (tidak membayar)
utang-utangnya.[11]
B. Sejarah Perkembangan Hukum Kepailitan di
Indonesia
Sejarah
berlakunya kepailitan di Indonesia terbagi kedalam 3 masa, yaitu: (1) masa
sebelum Faillisments Verordening berlaku, (2) masa berlakunya Faillisments
Verordening itu sendiri, dan (3) masa berlakunya UUK yang sekarang ini.[12]
1. Sebelum Faillisments Verordening berlaku
Sebelum
FV berlaku, pada awalnya hukum kepailitan itu diatur dalam dua tempat, yakni:
a. Wet Book Van Koophandel (peraturan
tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi
pedagang,
b. Reglement op de Rechtsvoordering
(tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu).
Peraturan
ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang, akantetapi
dalam pelaksanaannya kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan
antara lain yaitu:
a. Banyak formalitas sehingga sulit dalam
pelaksanaannya,
b. Biaya tinggi,
c. Pengaruh kreditor terlalu sedikit
terhadap jalannya kepailitan, dan
d. Perlu waktu yang cukup lama.[13]
2. Masa berlakunya Faillisments
Verordening
Selenjutnya
mengenai kepailitan diatur dalam FV, peraturan kepailitan ini sebenrnya
hanya berlaku bagi golongan Eropa, Cina, dan Golongan Timur Asing. Bagi
golongan Indonesia asli (pribumi) dapat saja menggunakan FV ini dengan
cara melakukan penundukan diri.
3. Masa berlakunya UUK yang sekarang ini.
Pada
akhirnya setelah berlakunya FV tersebut, Republik Indonesia mampu
membuat sendiri peraturan kepailitan, dimana pada waktu itu sudah ada 3
peraturan yang merupakan produk hukum nasional, yakni dimulai dari terbitnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang
No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi
dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundukan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK PKPU).[14]
C. Dasar Hukum Kepailitan
Dasar
kepailitan termasuk dalam hukum dagang , meskipun tidak diatur dalam KUHD. Peraturan kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Faillisements
Verordening” 1905 No. 217 jo. Yang mengandung 279 pasal, terdiri dari 2
bab, yaitu:
1. Bab I, tentang kepailitan (Van Faillisement) Pasal 1 sampai
Pasal 211.
2. Bab II, tentang Penundaan Pembayaran (Surseance
van Betaling) Pasal 212 sampai Pasal 279.[15]
Pada
tanggal 22 April tahun 1998, peraturan kepailitan tersebut kemudian disampaikan
melalui PERPU No. 1 Tahun 1998 dan pada tanggal 9 September 1998 PERPU tersebut
ditingkatkan menjadi undang-undang, yakni UU No. 4 Tahun 1998. Di dalam UUK
yang baru ini terdiri dari 289 Pasal, yang terbagi dalam 3 bab, yaitu:
1. Bab I, tentang Kepailitan mulai dari
Pasal 1-211,
2. Bab II, tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), Pasal 212-279, dan
3. Bab III, tentang Pengadilan Niaga, Pasal
280-289.[16]
D. Asas-asas Hukuk Kepailitana
Menurut
Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasrnya mempunyai dua fungsi sekaligus,
yaitu:
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi
jaminan kepada kreditornya bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetep
bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua kreditor-kreditornya.
2. Memberi perlindungan kepada debitor
terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.[17]
Maka
dari itu timbullah lembaga kepailitan, untuk mengadakan tata yang adil mengenai
pembayaran utang terhadap semua kreditor dengan cara seperti yang diperintahkan
oleh Pasal 1132 KUH Perdata.[18]
Pada Undang-undang kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No.
37 Tahun 2004 di dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang
ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas dalam kepailitan,[19]
yaitu:
1. Asas Keseimbangan
Pada
asas keseimbangan ini, terdapat etentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di
lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam
undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang
prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam
kepailtan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai
kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang bekepentingan.
4. Asas Integrasi
Asas
integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.[20]
E. Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan
Seorang
debitor dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1. Keadaan berhenti membayar, yaitu apabila
seorang debitur tidak mampu atau tidak mau membayar utangnya (debitur tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau dapat ditagih),[21]
2. Siapakah yang dapat mengajukan
kepailitan seseorang, adapun yang dapat mengajukan kepailitan seseorang adalah:
a. Debitur sendiri, karena merasa sudah
tidak mampu membayar utang-utangnya;
b. Seorang atau beberapa orang kreditur;
dan
c. Jaksa atas dasar kepentingan umum, misalkan
kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.[22]
3. Debitur harus mempunyai dua atau lebih
kreditur.[23]
Tentang
syarat untuk pailit dalam UUK No. 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 1, sementara
itu menurut UUK PKPU No. 37 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 2 ayat (1), pada
prinsipnya keduanya mengatur hal yang sama, akantetapi hanya beda pada
penempatan pasalnya saja.[24]
Dalam
UUK No. 37 Tahun 2004, pengaturan tentang syarat-syarat kepailitan diatur
dengan lebih tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya:
a. Adanya harta debitur apabila dalam waktu
yang sama ada beberapa kreditur menagih piutangya dari debitur,
b. Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitor atau kreditor lainya, dan
c. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditur ataudebitur
sendiri.[25]
F. Pihak yang Dapat mengajukan Pailit
Sebelum
berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, maka pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan kepailitan ke pengadilan negeri ada tiga, yaitu:
1. Debitur sendiri;
2. Seorang kreditur atau lebih kreditornya;
dan
3. Jaksa Penuntut Umum.[26]
Kemudian
berdasarkan PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UUK No. 4 Tahun 1998, pihak-pihak yang
dapat mengajukan pailit telah berubah menjadi lima pihak, yaitu:
1.
Debitur
sendiri;
2.
Seorang
atau lebih krediturnya;
3.
Kejaksaan
untuk kepentingan umum;
4.
Bank
Indonesia (BI); dan
5.
Badan
pengawas pasar modal.[27]
Berikutnya
dalam UUK PKPU No. 37 Tahun 2004, tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan
pailit ditambah satu lagi, yakni oleh menteri keuangan sehingga menjadi 6
pihak, yaitu:
1.
Debitur
sendiri;
2.
Seorang
atau lebih krediturnya;
3.
Kejaksaan
untuk kepentingan umum;
4.
Bank
Indonesia (BI);
5.
Badan
pengawas pasar modal; dan
6.
Menteri
keuangan.[28]
G. Pihak yang Dapat dinyatakan Pailit
Orang
atau pihak yang dapat dinyatakan pailit ialah sebagai berikut:
1. Badan-badan hukum, misalnya: Perseroan
Terbatas, Perusahaan Negara, Koperasi, dan perkumpulan-perkumpulan yang
bersetatus badan hukum,
2. Harta warisan,[29]
3. Orang perseorangan, baik laki-laki
maupun perempuan yang telah menikah ataupun belum menikah. Jika permohonan
pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur porangan eryang telah menikah,
maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau
isterinya, kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada percampuran harta,[30] dan
4. Orang atau badan pribadi.[31]
H. Akibat Pernyataan Kepailitan
Kepailitan
seseorang harus ditetapkan melalui putusan hakim, pada saat putusan hakim
diucapkan maka:
1.
Seluruh
harta kekayaan si pailit jatuh dalam keadaan penyitaan umum yang bersifat
konservator,
2.
Si
pailit kehilangan hak untuk untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya
sendiri,
3.
Harta
kekayaan si pailit diurus dan dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk
kepentingan para kreditur, dan
4.
Dalam
putusan hakim tersebut ditunjukkan seorang hakim komisaris yang bertugas untuk
memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan itu.[32]
I. Kepailitan dalam Persfektif Hukum
Ekonomi
Dalam
komunitas pelaku ekonomi, keadaan pailit baru dapat diawali apabila kepercayaan
mulai tidak ada lagi. Ketiadaan
kepercayaan tersebut dapat berawal dari debitur atau kreditur, atau
keduanya sekaligus.
Kepercayaan yang hilang
tersebut dapat diketahui apabila terdapt indikator-indikator sebagai berikut:
1. Debitur mulai mulai mengulur-ulur waktu
kewajiban pembayaran,
2. Pembayaran kewajiban atau pembayaran
utang-utang debitur mulai macet atau seret yang disertai alasan yang
mengada-ada, dan
3. Debitur mulai menyembunyikan harta
kekayaan dan atau aset-aset lain dan sebagainya.[33]
J. Hukum Acara Kepailitan
Hukum
acara yang berlaku dalam penyelesaian kepailitan adalah hukum acara perdata
sebagaimana dinyatakan dalam UUK Pasal 284 ayat (1), [34]maka
terhadap pengadilan niaga berlaku hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain
dengan undang-undang ini.
Sehubungan
dengan hal tersebut, maka penulis akan menguraikan tentang: (1) pengadilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan, (2) cara pengajuan permohonan
kepailitan, dan (3) tentang upaya hukum kepailitan.[35]
1. Pengadilan yang Berwenang
Menurut
UUK, pengadilan yang berwenang untuk mengaili perkara permohnan kepailitan
adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut UUK ini adalah pengadilan niaga.[36]
2. Pengajuan Permohonan Kepailitan
Untuk
permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan melalui panitera
dengan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan
tanggal pendaftaran.
Kemudian
panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan
paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, dan dalan jangka
waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan, maka
pengadilan terlebih dahulu memprlajari permohonan tersebut dan menetapkan hari
sidangnya. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan
dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan.[37]
Putusan
pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan.[38]
3. Upaya Hukum dalam Kepailitan
Upaya
hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Ada 3 macam upaya hukum
yang dapat dilakukan dalam hal kepailitan, yakni: (1) Perlawanan, (2) Kasasi
(Pasal 11-13 UUK PKPU No. 37 Tahun 2004), dan (3) Peninjauan Kembali (Pasal 14
UUK PKPU No. 37 Tahun 2004).[39]
K. Akibat Hukum Putusan Kepailitan
Adapun
akibat-akibat yuridis dari sebuah putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur
adalah dengan dijatuhkannya putusan pailit, maka si debitur (si pailit)
kehilangan sebuah haknya untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta
bendanya.[40]
Karena apabila telah dijatuhkannya putusan kepailitan, maka pengurusan harta
bendanya beralih ke tangan kurator Balai Harta Peninggalan (BHP). [41]
Akantetapi
tidak semua harta benda si pailit di serahkan ke BHP, karena ada beberapa harta
yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:
1.
Alat
perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari,
2.
Alat
perlengkapan dinas,
3.
Alat
perlengkapan kerja,
4.
Persediaan
makanan untuk kira-kira satu bulan,[42]
5.
Buku-buku
yang dipakai untuk keperluan kerja,
6.
Gaji,
upah, pensiun, uang jasa, dan honorarium,
7.
Hak
cipta,
8.
Sejumlah
uang yang ditentukan oleh hakim pengawas untuk nafkah debitur, dan
9.
Sejumlah
uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.[43]
Akantetapi
dalam hal ini, si pailit masih di perkenankan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya: membuat
perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum tersebut akan memberiakn keuntungan
bagi harta si pailit.
L. Kewenangan Penyelesaian Sengketa
Kepailitan
Berdasarkan
PERPU No. 1 Tahun 1998 yang kemudian ditingkatkan menjadi UUK No. 4 Tahun 1998,
maka yang berwenang untuk menyelesaikan masalah kepailitan adalah pengadilan
niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan dibidag perniagaan yang dibentuk
dalam lingkup pengadilan umum dengan menggunakan hukum acara perdata.[44]
Terhadap
putusan pengadilan niaga di tingkat pertama, hanya dapat diajukan kasasi kepada
MA, dan terhadap putusan pengadilan niaga yang telah mampunyai kekuatan hukum
yang tetap dapat diajukan peninjauan kembali
kepada MA apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan apabila
pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penetapan
hukum.[45]
M. Berakhirnya Kepailitan
Sebuah
kepailitan dapat dikatakan berakhir apabila telah terjadi hal-hal berikut ini:
1. Akur
Dalam
kepailitan akur (accor) diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si
pailit dengan kreditur, dimana diadakan suatu ketentuan bahwa si pailit dengan membayar
suatu presentase tertentu (dari utangya).[46]
2. Insolvensi
Insovensi
yaitu suatu keadaan dimana harta pailit tersebut harus dijual lelang di muka
umum, kemudian hasil dari penjualan lelang tersebut dibagi-bagikan kepada
kreditur sesuai dengan jumlah tagihannya.[47]
2. PENUNDAAN PEMBAYARAN
A. Hukum Penundaan Pembayaran
Dasar utama peratuturan penundaan
pembayaran hutang terdapat dalam pasal 212 PK yang isi pokoknya: debitor yang menduga
(mengetahui bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-tangnya yang sudah
bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran utang-utangnya
kepada hakim. Apabila permohonan debitor ini diizinkam, maka selama waktu
penundaan pembayaran itu dia tidak boleh dipaksa membayar utang-utangnya.
B. Sebab-sebab Adanya Penundaan Pembayaran
Utang
Sebab-seba
yang bisa menjadikan debitiur melakukan penundaan pembayaran adalah misalnya
jatuh rugi, kebakaran, kapal tenggelam, pembekuan simpanannya di bank dan
lain-lain. Diman hal tersebut mengakibatkan si debitur kekurangan uang untuk
membayar utang-utangnya.
Jadi
dalam keadaan tersebut debitur belum perlu divailidkan, karena dia masih
sanggup untuk membayar utangnya secara penuh akan tetepi dibutuhkan waktu
tambahan untuk memperbaiki keadaan ekonominya.
C. Prosedur Permintaan Penundaan Pembayaran
1. Debitur yang dalam keadaan telah menduga
bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah dapat
ditagih sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, dapat mengajukan permohonan
penundaan pembayaran utangnya kepada Pengadilan Negeri seperti dimaksud dalam
Pasal 2 dan 3 (Pasal 313 PK), yakni Pengadilan Negeri yang berkedudukan di
temapat tinggal si pemohon. Permohonan tersebut harus disertai dengan
surat-surat antara lain :
a. Jumlah perincian aktiva dan pasiva dari
harta bendanya beserta bukti-bukti yang diperlukan;
b. Nama-nama kreditur beserta alamatnya,
dan besar piutangnya masing-masing.
Surat permohonan dan lampiran
tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang agar dapat
dilihat oleh semua pihak yang berkepentingan[48].
2. Setelah pengadilan negeri menerima
permohonan penundaan pembayaran itu, dan mengabulkan permohonan itu untuk
sementara dengan memberikan izin sementara penundaan pembayaran.[49]
Setelah
pengadilan negeri mengabulkan permohonan tersebut, maka pengadilan akan
mengangkat hakim Pengawas dan seorang atau lebih pengurus yang bersama-sama
debitur mengurus kepentingan debitur dan krediturnya.
3. Hakim pengadilan negeri paling lambat 45
hari melalui paniteranya akan memanggil para kreditur yang bersangkutan,
debitur dan pengurus untuk diadakan sidang pada hari, jam dan tempat tertentu,
untuk memusyawarahkan pihak-pihak yang bersangkutan dalam permohonan penundaan
pembayaran tersebut.[50]
Dalam
sidang tersebut Hakim dan pihak yang berwenang akan memutuskan perkara
dikabulkan atau tidaknya permohonan penundaan pemabayaran, dengan ketentuan
sebagai berikut ;[51]
a. Permohonan penundaan pembaran utang akan
dikabulkan atau ditetapkan apabila disetujui lebih dari setengah kreditour
konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian dari seluruh
tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditur konkuren atau
kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
b. Permohonan penundaan pembayaran uatang
tidak akan dikabulkan jika:
1) Adanya alasan yang mengkhawatirkan bahwa
debitor selama penundaan pembayaran akan mencoba merugikan kreditur-kreditrunya.
2) Apabila tidak ada harapan bagi debitur,
selama penundaan pembayaran dan setelah itu, untuk memenuhi kewajibannya kepada
kreditur.
4. Apabila keputusan hakim dalam sidang
perkara ini, mengabulkan permohonan penundaan pembayaran tersebut, akan
ditetapkan lamanya waktu penundaan pembayaran yaitu tidak melebehi 270 (dua
ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak diputuskannya permohonan penundaan
pembayaran.[52]
D. Akibat-akibat Adanya Penundaan
Pembayaran
Adapun
akibat dari adanya putusan hakim tentang penundaan pembayaran adalah:
1. Si tertunda tetap berhak mengurus dan
menguasai harta bendanya sendiri, akan tetapi perbuatan hukum yang dilakukannya
yang menyangkut harta benda harus degan izin pemeliharaannya (pasal 226 PK).
2. Si tertunda tidak boleh dipaksa untuk
membayar utang-tangnya dan segala tindakan-tindakan mengenai eksekusi yang
telah dimulai untuk mendapatkan perlunasan utang-utang tersebut harus
ditangguhkan (pasal 228 PK)
3. Si tertunda berhak membayar
utang-utangnya, tetapi apabila dia membayar harus untuk semua kreditrnya atas
dasar imbangan jumlah piutang-piutang yang bersangkutan (pasal 231 PK dan 1132
KUHPer).[53]
4. Penyitaan barang-barang si tertunda dan
paksaan badan yang diklakukan atas diri si tertunda harus dicabut (pasal 228
ayat 2 PK).
E. Pencabutan/Pengakhiran Penundaan
Pembayaran
Apabila
penundaan pembayaran telah diberikan, maka permintaan pemeliharaan atau seorang
kreditur ataupun hakim, penundaan pembayaran itu dapat dicabut berdasarkan
pasal 240 PK :[54]
1. Bila si tertunda selama berlangsungnya
penundaan pembayaran telah berusaha melakukan perbuatan yang tidak jujur dalam
melakukan pengurusan atas harta bendanya sendiri.
2. Bila si tertunda ternyata berusaha untuk
merugikan kreditur-krediturnya.
3. Apabila si tertunda melakukan perbuatan
hukum tanpa persetujuan pemelihara.
4. Apabila si tertunda lupa atau lalai
dalam menjalankan ketentuan-ketentuan yang diharuskan.
5. Apabila penudaan pembayaran itu ternyata
tidak berguna bagi pelunasan utang utangnya.
Dengan
dicabutnya penundaan pembayaran itu, hakim dapat menetapkan si debitur dalam
keadaan pailit[55],
sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pengakhiran atau pencabutan penundaan pembayaran hanya
dapat dilakukan oleh pengadilan dalam suatu persidangan yang khusus membahas
hal itu. Persidangan itu harus dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
permohonan diajukan dan putusan harus telah diberikan paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak selesainya pemeriksaan.[56]
3. PERBEDAAN ANTARA KEPAILITAN DENGAN PENUNDAAN
PEMBAYARAN
Antara
kepailitan dengan penundaan pembayaran tersebut terdapat beberapa perbedaan,
adapun perbedaan antara keduanya tersebut adalah:
a. Kedudukan Tertunda
Dalam
penundaan pembayaran ini, nasib tertunda yakni orang yang mendapai izin dari
hakim untuk menunda pembayaran utang-utangnya tidak sejelek si pailit. Berbeda
dengan si pailit yang kehilangan kecakapan berbuat terhadap harta bendanya
sendiri, maka bagi si tertunda tidak kehilangan hak atas bendanya.[57]
b. Keadaan Tertunda
Dalam
kepailitan, kedudukan debitur (si pailit) sedemikian buruknya, sehingga
kewenangan bertindak terhadap harta bendanya hilang. Sedangkan dalam penundaan
pembayaran si tertunda masih berwenang untuk bertindak terhadap harta bendanya
dan bahkan masih berhak atas harta bendanya tersebut.[58]
c. Lembaga Pemeliharaan
Pada
penundaan pembayaran, si tertunda masih cakap berbuat terhadap harta bendanya,
hanya tiap tindakan yang mengenai harta bendanya harus mendapatkan izin dari
seorang atau lebih yang disebut pemelihara yang diangkat oleh hakim.[59]Yang
dapat menjadi pengurus adalah perorangan atau persekutuan perdata yang
berdomisili di Indonesia, dan mereka sudah terdaftar di Kementerian Kehakiman
serta harus memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka pengurusan
harta debitur.
Tugas
dan tanggung jawab itu sangatlah berat, dikarenakan apabila ia lalai dan
merugikan kekayaan debitur, maka ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya
itu, baik secara perdata maupun pidana. Akan tetapi dibalik itu atas jasanya
yang begitu besar maka ia diberikan imbalam yang ditentukan oleh Kementerian
Kehakiman RI.
d. Balai Harta Peninggalan (BHP)
Balai
harta peninggalan tidak turut campur dalam persoalan penundaan pembayaran,
sebagai gantinya ditetapkan oleh hakim yang tugasnya mengawasi dan mengurus
setiap tindakan si tertunda mengenai harta bendanya.[60]
Apabila
pengurus itu terdiri lebih dari satu orang, maka dalam melakukan tindakan si
tertunda harus mendapat izin lebih dari ½ pengurus. Apabila jumlah yang setuju
dan tidak setuju seimbang, maka keputusan tentang tindakan pengurus harus
mendapat persetujuan hakim pengawas.
Pengurus
diwajibkan membuat laporan setiap 3 (tiga) bulan sekali, tentang keadaan
kekayaan debitur, dan laporan itu diserahkan kepada panitera Pengadilan agar
dapat dilihat oleh pihak-pihak secara cuma-cuma.
e. Hakim Pengawas
Dalam
lembaga penundaan pembayaran keberadaan hakim pengawas masih sangat diperlukan,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 214 ayat 2 UU no. 4 tahun 1998. Hakim
pengawas dapat mengangkat tim ahli untuk melakukan pemerikasaan dan penyusunan
laporan tentang keadaan kekayaan debitur serta rekomendasinya (pasal 224 UU No.
4 Tahun 1998). Laporan tersebut harus diserahkan atau disediakan kepada
kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak.[61]
f. Panitia Kreditur
Berkenaan
dengan penundaan pembayaran hutang maka hakim harus mengangkat panitia debitur,
apabila permohoanan penundaan pembayaran itu menyangkut kewajiban pembayaran
hutang dalam jumlah yang besar dan bersifat rumit. Dan pengangakatan itu harus
disetujui sekurang-kurangnya oleh ½ kreditur dari seluruh tagihan yang diakui.
Tugas
panitia kreditur ini adalah memberikan nasihat dan rekomendasi kepada pengurus
terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan yang menyangkut harta
debitur.[62]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil dari pembahasan mengenai kasus kepailitan dan penundaan pembayaran
tersebut di atas, maka kami sebagia pemakalah dapat menyimpulkan:
1.
Kepailitan
Bahwa
yang dimaksud pailit itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa dalam keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh
tempo. Si pailit juga dapat disebut dengan debitur yang mempunyai dua orang
atau lebih kreditur dan tida mampu membayar satu atau lebih dari utangnya yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih.[63]
Adapun
dasar dari hukum kepailitan adalah itu diatur dalam sebuah peraturan tersendiri
yaitu terdapat dalam Faillisements Verordening” 1905 No. 217 jo. Yang
mengandung 279 pasal, terdiri dari 2 bab. Dan
dalam kepailitan juga terdapat sebuah asas-asas yang harus diperhatikan, adapun
asas-asas tersebut adalah: “Asas Keseimbangan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas
Keadilan, dan Asas Integrasi”
Selain
itu juga apabila seseorang ingin mengajukan pailit, maka terdapat pula
syarat-syarat seseorang untuk dapat mengajukan pailit, adapun syarat-syarat
tersebut adalah:
1.
Keadaan
berhenti membayar, yaitu apabila seorang debitur tidak mampu atau tidak mau
membayar utangnya (debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu atau dapat ditagih),[64]
2.
Siapakah
yang dapat mengajukan kepailitan seseorang, adapun yang dapat mengajukan
kepailitan seseorang adalah:
a. Debitur sendiri, karena merasa sudah
tidak mampu membayar utang-utangnya;
b. Seorang atau beberapa orang kreditur;
dan
c. Jaksa atas dasar kepentingan umum, misalkan
kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.[65]
3. Debitur harus mempunyai dua atau lebih
kreditur.[66]
2. Penundaan Pembayaran
Seseorang
dapat mengajukan penundaan pembayaran apabila ada sesuatu atau sebab dia
mengajukan penundaan pembayaran, adapun sebab-sebab adanya seseorang
diperbolehkan melakukan penundaan pembayaran misalnya jatuh rugi, kebakaran,
kapal tenggelam, pembekuan simpanannya di bank dan lain-lain.[67]
Selain
itu antara kepailitan dan penundaaan pembayaran terdapat beberapa perbedaan,
adapun perbedaan tersebut adalah dalam masalah: ”Kedudukan Tertunda, Keadaan
Tertunda, Lembaga Pemeliharaan, Balai Harta Peninggalan (BHP), Hakim Pengawas,
dan Panitia Kreditur.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Sumber
Hartini
Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana, Januari 2009.
Cet. Pertama
C.
S. T. Kansil. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. Oktober 2002. Cet. Pertama
Fauzan
Ahmad. Perundang-undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peralihan Khusus,
dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Kencana
Purwosutjipto.
Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Perwasitan dan Penundaan
Pembayaran. Jakarta, 1992, Jilid 8
Fuadi Munir. Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perdata Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,
Redjeki
Hartanto Sri. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Banyumedia Publishing.
Desember 2007. Cet. Kedua
Asikin Zainal, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002. Cet. Kedua,
Asyhadie Zaeni, Hukum Bisnis
Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Februari 2005
Shubhah Hadi, Hukum Kepailitan
(Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan). Jakarta: Kencana, Januari 2008.
Cet. Pertama
Yani Ahmad & Gunawan Widjaja,
Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret
2002. Cet. Ketiga
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun
2004
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tentang Kepailitan
Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun
1998
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer)
[1] Achmad Fauzan, Perundang-undangan
Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
2005), h. 16-17
[2] Rahayu Hartanto, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta:Kencana,Januari 2009), Cet. Pertama, h. 1
[3] Munir Fuadi, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perdata Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000, hlm. 33-34
[4] Ibid; h. 3
[5] Rahayu Hartanti, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 4
[6] Rahayu Hartanti, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 71
[7] UUK PKPU No.37 Tahun
2004 telah disahkan dan diundangkan serta berlaku mulai tanggal 18 Oktober
2004, UU tersebut mencabut berlakunya Undang-undang tentang Kepailitan dan UUK
No. 4 Tahun 1998, dan semua peraturan perundangan yang merupakan pelaksanaannya
masih tetap berlaku sejauh tiidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan
peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini (lihat ketentuan Peralihan Pasal
305 jo. Ketentuan Penutup Pasal 307)
[8] Lihat UU No. 37 Tahun
2004 tenteng Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2
[9] Ibid; h. 72
[10] C. S. T. Kansil, Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002),
Cet. Pertama, h. 169
[11] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 27
[12] Rahayu Hartanti, Hukum
Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 9-14
[13] Purwosutjipto, Pengantar
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8, Cet. Ketiga, 1992, h. 29
[14] Ibid; h. 67
[15] Rahayu
Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari
2009), Cet. Pertama, h. 72
[16] Ibid; h. 73
[17] Sri Redjeki Hartono,
dalam Rahayu Hartini, Hukim Kepailitan, (Malang: Bayu Media), 2003, h.
10-11
[18] Rahayu Hartanti, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 75
[19] Lebih lanjut lihat
Penjelasan UUK PKPU No. 37 Tahun 2004
[20] Ibid; h. 75-76
[21] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 35
[22] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober
2002), Cet. Pertama, h. 169-170
[23] Rahayu
Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari
2009), Cet. Pertama, h. 76
[24] Ibid; h. 77
[25] Rahayu Hartanti, Hukum
Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 36-37
[26] Ahmad Yani & Gunawan
Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Maret 2002), Cet. Ketiga, h. 12
[27] Lihat PERPU No. 1 Tahun
1998 jo. UUK No. 4 Tahun 1998 Pasal 2 ayat (1)
[28] Lihat UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 2 ayat (1)-(5)
[29] C.
S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia),
(Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 170
[30] Ahmad Yani & Gunawan
Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Maret 2002), Cet. Ketiga, h. 16
[31] Rahayu Hartanti, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 93
[32] Ibid; h. 170
[33] Sri Redjeki Hartono, Hukm
Ekonomi Indonesia, (Malang: Banyumedia Publishing, Desember 2007), Cet.
Pertama, h. 178-179
[34] Lihat Pasal 284 ayat (1)
UUK No. 4 Tahun 1998 dan penjelasannya
[35] Rahayu Hartanti, Penyelesaian
Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga &
Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 101
[36] Dalam UUK No. 4 Tahun
1998 ketentuan tentang Pengadilan niaga diatur secara khusus di dalam bab tersendiri yaitu pada bab ketiga
muali dari pasal 280-289. Ketentuan ini merupakan hal yang baru pertama kali
diatur dalam peraturan kepailitan , karena ketika itu penyelesaian pailit di
pengailn negeri dengan mendasarkan pada hukum acara perdata biasa yakni HIR maupun R. Bg, kemudian dalam UUK PKPU yang baru yakni UUK No. 37 Tahun 2004 pengaturan tentang
pengailan niaga dimasukkan dalam Bab V: Ketentuan lain-lain mulai Pasal 299-302
dan juga menyebar di berbagai pasal lainnya serta penyebutannya cukup denga
kata-kata “ Pengailan” saja tanpa ada
kata “Niaga” karena hal ini merujuk ketentuan Pasal 1 poin (7) UUK PKPU
bahwa: “Pengadilan” adalah “Pengadilan Niaga” dalam lingkungan peradilan umum
[37] Rahayu
Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari
2009), Cet. Pertama, h. 103
[38] Ibid; h. 105
[39] Rahayu Hartanti, Hukum
Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 85
[40] Hadi Shubhah, Hukum
Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan), (Jakarta: Kencana,
Januari 2008), Cet. Pertama, h. 162
[41] Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 53
[42] Zaeni Asyhadie, Hukum
Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Februari 2005), h. 236
[43] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h 54
[44] Ibid; h. 111-112
[45] Rahayu
Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari
2009), Cet. Pertama, h. 113
[46] Zaeni Asyhadie, Hukum
Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Februari 2005), h. 239
[47] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 94
[48] Lebih jelas dan
terperinci lihat Pasal 214 PK
[49] Penenundan dimaksud
diatas muali berlaku sejak keluarnya izin sementara penundaan pembayaran.
[50] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 109
[51] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan
Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari
2005), h. 242-243
[52] Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 110
[53] Lebih jelasnya lihat
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
[54] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober
2002), Cet. Pertama, h. 176
[56] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan
& Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Juli 2002), Cet. Kedua, h. 111
[57] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober
2002), Cet. Pertama, h. 174
[58] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 103
[59] C.
S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia),
(Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 174
[60] Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 104
[61] C.
S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia),
(Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 174
[62] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 105 - 106
[63] Zaeni Asyhadie, Hukum
Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Februari 2005), h. 225
[64] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 35
[65] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober
2002), Cet. Pertama, h. 169-170
[66] Rahayu
Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari
2009), Cet. Pertama, h. 76
[67] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober
2002), Cet. Pertama, h. 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar