Rabu, 26 November 2014

Hukum Dagang



HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN

Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Dagang

Dosen Pembimbing:
Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
Disusun Oleh:
Tajul Muttaqin

K O N S E N T R A S I   P E R A D I L A N   A G A M A VIIB
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431H/2010M
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................5
1.    Kepailitan................................................................................................5
2.    Penundaan Pembayaran.........................................................................18
3.    Perbedaan Antara Kepailitan Dengan Penundaan Pembayaran............23
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................26
Daftar Pustaka......................................................................................................28










BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan, penundaan pembayaran, dan apa perbedaan antara keduanya itu, maka terlebih dahulu kami sebagai pemakalah akan menjelaskan sekilas tentang penyelesaian kepailitan sebelum di berlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan.
Sebelum berlakunya Undang-undang No 4 Tahun 1998 tentang kepailitan, maka cara untuk penyelesaian perkara tentang kepailitan itu diselesaikan oleh pengadilan negeri yang merupakan bagian dari sebuah peradilan umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.[1]
Setelah ditetapkan dan berlakunya Undang-undang kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, maka untuk penyelesaian perkara kepailitan tersebut diperiksa dan diputus oleh pengadilan niaga yang berada di lingkungan peradilan umum. Pembentukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan[2].
Di sisi lain, kita juga mengenal dengan adanya penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan formal, yakni yang dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif atau bisa juga disebut dengan arbitrase. Arbitrasa adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang mendasarkan pada perjanjian arbitrase yang disebut secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun sengketa yang dapat dibawa ke arbitrase adalah sengketa perdata yang bersifat hukum perdata dan hukum dagang.[3]
Pada dasarnya institusi arbitrase ini bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, akantetapi masih ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase, misalnya dengan cara: negosiasi,mediasi, pencari fakta, dan sebagainya.[4]
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase, apabila ada sengketa perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausul arbitrase harus diselesaikan  oleh lembaga arbitrase dan pengadilan negeri wajib menolaknya dan menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya.[5]







BAB II
PEMBAHASAB
1.    KEPAILITAN
A.     Pengertian Pailit
Menurut Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacetan  pembayaran. Dalam peraturan kepailitan yang lama, yang dimaksud dengan pailit adalah setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan pailit.[6]
Sedangkan menurut UUK yang baru yakni UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan,[7] bahwa yang dimaksud dengan pailit adalah sita umum atas semua kekeyaaan debitor palit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama dengan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, hanya pengaturan pasalnya saja yang berubah yaitu dalam pasal 2 ayat (1) UUK Nomor 37 Tahun 2004.[8]
Dilihat dari beberapa arti atau pengertian kepailitan di atas, maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai utang.[9] Pailit juga dapat diartikan juga dengan keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Berhenti membayar utang di sini bukan berarti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debtur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.[10]
Selain itu, pailit dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan juga sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar (tidak membayar) utang-utangnya.[11]
B.     Sejarah Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia
Sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia terbagi kedalam 3 masa, yaitu: (1) masa sebelum Faillisments Verordening berlaku, (2) masa berlakunya Faillisments Verordening itu sendiri, dan (3) masa berlakunya UUK yang sekarang ini.[12]
1.    Sebelum Faillisments Verordening berlaku
Sebelum FV berlaku, pada awalnya hukum kepailitan itu diatur dalam dua tempat, yakni:
a.       Wet Book Van Koophandel (peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang,
b.      Reglement op de Rechtsvoordering (tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu).
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang, akantetapi dalam pelaksanaannya kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain yaitu:
a.    Banyak formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
b.    Biaya tinggi,
c.    Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan, dan
d.   Perlu waktu yang cukup lama.[13]
2.    Masa berlakunya Faillisments Verordening
Selenjutnya mengenai kepailitan diatur dalam FV, peraturan kepailitan ini sebenrnya hanya berlaku bagi golongan Eropa, Cina, dan Golongan Timur Asing. Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) dapat saja menggunakan FV ini dengan cara melakukan penundukan diri.
3.    Masa berlakunya UUK yang sekarang ini.
Pada akhirnya setelah berlakunya FV tersebut, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, dimana pada waktu itu sudah ada 3 peraturan yang merupakan produk hukum nasional, yakni dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundukan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK PKPU).[14]
C.     Dasar Hukum Kepailitan
Dasar kepailitan termasuk dalam hukum dagang , meskipun tidak diatur dalam  KUHD. Peraturan kepailitan diatur  dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Faillisements Verordening” 1905 No. 217 jo. Yang mengandung 279 pasal, terdiri dari 2 bab, yaitu:
1.      Bab I, tentang kepailitan  (Van Faillisement) Pasal 1 sampai Pasal 211.
2.      Bab II, tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling) Pasal 212 sampai Pasal 279.[15]
Pada tanggal 22 April tahun 1998, peraturan kepailitan tersebut kemudian disampaikan melalui PERPU No. 1 Tahun 1998 dan pada tanggal 9 September 1998 PERPU tersebut ditingkatkan menjadi undang-undang, yakni UU No. 4 Tahun 1998. Di dalam UUK yang baru ini terdiri dari 289 Pasal, yang terbagi dalam 3 bab, yaitu:
1.    Bab I, tentang Kepailitan mulai dari Pasal 1-211,
2.    Bab II, tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Pasal 212-279, dan
3.    Bab III, tentang Pengadilan Niaga, Pasal 280-289.[16]
D.    Asas-asas Hukuk Kepailitana
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasrnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1.    Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditornya bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetep bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua kreditor-kreditornya.
2.    Memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.[17]
Maka dari itu timbullah lembaga kepailitan, untuk mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditor dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata.[18] Pada Undang-undang kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No. 37 Tahun 2004 di dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas dalam kepailitan,[19] yaitu:
1.    Asas Keseimbangan
Pada asas keseimbangan ini, terdapat etentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
2.    Asas Kelangsungan Usaha
Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3.    Asas Keadilan
Dalam kepailtan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang bekepentingan.
4.    Asas Integrasi
Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.[20]
E.     Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan
Seorang debitor dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1.    Keadaan berhenti membayar, yaitu apabila seorang debitur tidak mampu atau tidak mau membayar utangnya (debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau dapat ditagih),[21]
2.    Siapakah yang dapat mengajukan kepailitan seseorang, adapun yang dapat mengajukan kepailitan seseorang adalah:
a.       Debitur sendiri, karena merasa sudah tidak mampu membayar utang-utangnya;
b.      Seorang atau beberapa orang kreditur; dan
c.       Jaksa atas dasar  kepentingan umum, misalkan kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.[22]
3.    Debitur harus mempunyai dua atau lebih kreditur.[23]
Tentang syarat untuk pailit dalam UUK No. 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 1, sementara itu menurut UUK PKPU No. 37 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 2 ayat (1), pada prinsipnya keduanya mengatur hal yang sama, akantetapi hanya beda pada penempatan pasalnya saja.[24]
Dalam UUK No. 37 Tahun 2004, pengaturan tentang syarat-syarat kepailitan diatur dengan lebih tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya:
a.    Adanya harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur menagih piutangya dari debitur,
b.    Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau kreditor lainya, dan
c.    Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang  kreditur ataudebitur sendiri.[25]
F.     Pihak yang Dapat mengajukan Pailit
Sebelum berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, maka pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan negeri ada tiga, yaitu:
1.    Debitur sendiri;
2.    Seorang kreditur atau lebih kreditornya; dan
3.    Jaksa Penuntut Umum.[26]
Kemudian berdasarkan PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UUK No. 4 Tahun 1998, pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit telah berubah menjadi lima pihak, yaitu:
1.    Debitur sendiri;
2.    Seorang atau lebih krediturnya;
3.    Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4.    Bank Indonesia (BI); dan
5.    Badan pengawas pasar modal.[27]
Berikutnya dalam UUK PKPU No. 37 Tahun 2004, tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit ditambah satu lagi, yakni oleh menteri keuangan sehingga menjadi 6 pihak, yaitu:
1.    Debitur sendiri;
2.    Seorang atau lebih krediturnya;
3.    Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4.    Bank Indonesia (BI);
5.    Badan pengawas pasar modal; dan
6.    Menteri keuangan.[28]
G.    Pihak yang Dapat dinyatakan Pailit
Orang atau pihak yang dapat dinyatakan pailit ialah sebagai berikut:
1.      Badan-badan hukum, misalnya: Perseroan Terbatas, Perusahaan Negara, Koperasi, dan perkumpulan-perkumpulan yang bersetatus badan hukum,
2.      Harta warisan,[29]
3.      Orang perseorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah ataupun belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur porangan eryang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada percampuran harta,[30] dan
4.      Orang atau badan pribadi.[31]
H.    Akibat Pernyataan Kepailitan
Kepailitan seseorang harus ditetapkan melalui putusan hakim, pada saat putusan hakim diucapkan maka:
1.    Seluruh harta kekayaan si pailit jatuh dalam keadaan penyitaan umum yang bersifat konservator,
2.    Si pailit kehilangan hak untuk untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya sendiri,
3.    Harta kekayaan si pailit diurus dan dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk kepentingan para kreditur, dan
4.    Dalam putusan hakim tersebut ditunjukkan seorang hakim komisaris yang bertugas untuk memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan itu.[32]
I.       Kepailitan dalam Persfektif Hukum Ekonomi
Dalam komunitas pelaku ekonomi, keadaan pailit baru dapat diawali apabila kepercayaan mulai tidak ada lagi. Ketiadaan  kepercayaan tersebut dapat berawal dari debitur atau kreditur, atau keduanya sekaligus.
Kepercayaan yang hilang tersebut dapat diketahui apabila terdapt indikator-indikator sebagai berikut:
1.      Debitur mulai mulai mengulur-ulur waktu kewajiban pembayaran,
2.      Pembayaran kewajiban atau pembayaran utang-utang debitur mulai macet atau seret yang disertai alasan yang mengada-ada, dan
3.      Debitur mulai menyembunyikan harta kekayaan dan atau aset-aset lain dan sebagainya.[33]
J.      Hukum Acara Kepailitan
Hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian kepailitan adalah hukum acara perdata sebagaimana dinyatakan dalam UUK Pasal 284 ayat (1), [34]maka terhadap pengadilan niaga berlaku hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain dengan undang-undang ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis akan menguraikan tentang: (1) pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan, (2) cara pengajuan permohonan kepailitan, dan (3) tentang upaya hukum kepailitan.[35]
1.    Pengadilan yang Berwenang
Menurut UUK, pengadilan yang berwenang untuk mengaili perkara permohnan kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut UUK ini adalah pengadilan niaga.[36]
2.    Pengajuan Permohonan Kepailitan
Untuk permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan melalui panitera dengan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
Kemudian panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, dan dalan jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan, maka pengadilan terlebih dahulu memprlajari permohonan tersebut dan menetapkan hari sidangnya. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.[37]
Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat  60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.[38]
3.    Upaya Hukum dalam Kepailitan
Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Ada 3 macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal kepailitan, yakni: (1) Perlawanan, (2) Kasasi (Pasal 11-13 UUK PKPU No. 37 Tahun 2004), dan (3) Peninjauan Kembali (Pasal 14 UUK PKPU No. 37 Tahun 2004).[39]
K.     Akibat Hukum Putusan Kepailitan
Adapun akibat-akibat yuridis dari sebuah putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur adalah dengan dijatuhkannya putusan pailit, maka si debitur (si pailit) kehilangan sebuah haknya untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya.[40] Karena apabila telah dijatuhkannya putusan kepailitan, maka pengurusan harta bendanya beralih ke tangan kurator Balai Harta Peninggalan (BHP). [41]
Akantetapi tidak semua harta benda si pailit di serahkan ke BHP, karena ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:
1.    Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari,
2.    Alat perlengkapan dinas,
3.    Alat perlengkapan kerja,
4.    Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan,[42]
5.    Buku-buku yang dipakai untuk keperluan kerja,
6.    Gaji, upah, pensiun, uang jasa, dan honorarium,
7.    Hak cipta,
8.    Sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim pengawas untuk nafkah debitur, dan
9.    Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.[43]
Akantetapi dalam hal ini, si pailit masih di perkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya: membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum tersebut akan memberiakn keuntungan bagi harta si pailit.
L.     Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan
Berdasarkan PERPU No. 1 Tahun 1998 yang kemudian ditingkatkan menjadi UUK No. 4 Tahun 1998, maka yang berwenang untuk menyelesaikan masalah kepailitan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan dibidag perniagaan yang dibentuk dalam lingkup pengadilan umum dengan menggunakan hukum acara perdata.[44]
Terhadap putusan pengadilan niaga di tingkat pertama, hanya dapat diajukan kasasi kepada MA, dan terhadap putusan pengadilan niaga yang telah mampunyai kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan peninjauan kembali  kepada MA apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan apabila pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penetapan hukum.[45]
M.     Berakhirnya Kepailitan
Sebuah kepailitan dapat dikatakan berakhir apabila telah terjadi hal-hal berikut ini:
1.      Akur
Dalam kepailitan akur (accor) diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si pailit dengan kreditur, dimana diadakan suatu ketentuan bahwa si pailit dengan membayar suatu presentase tertentu (dari utangya).[46]
2.      Insolvensi
Insovensi yaitu suatu keadaan dimana harta pailit tersebut harus dijual lelang di muka umum, kemudian hasil dari penjualan lelang tersebut dibagi-bagikan kepada kreditur sesuai dengan jumlah tagihannya.[47]
2.    PENUNDAAN PEMBAYARAN
A.     Hukum Penundaan Pembayaran
Dasar utama peratuturan penundaan pembayaran hutang terdapat dalam pasal 212 PK yang isi pokoknya: debitor yang menduga (mengetahui bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-tangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran utang-utangnya kepada hakim. Apabila permohonan debitor ini diizinkam, maka selama waktu penundaan pembayaran itu dia tidak boleh dipaksa membayar utang-utangnya.
B.     Sebab-sebab Adanya Penundaan Pembayaran Utang
Sebab-seba yang bisa menjadikan debitiur melakukan penundaan pembayaran adalah misalnya jatuh rugi, kebakaran, kapal tenggelam, pembekuan simpanannya di bank dan lain-lain. Diman hal tersebut mengakibatkan si debitur kekurangan uang untuk membayar utang-utangnya.
Jadi dalam keadaan tersebut debitur belum perlu divailidkan, karena dia masih sanggup untuk membayar utangnya secara penuh akan tetepi dibutuhkan waktu tambahan untuk memperbaiki keadaan ekonominya.


C.     Prosedur Permintaan Penundaan Pembayaran
1.    Debitur yang dalam keadaan telah menduga bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah dapat ditagih sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran utangnya kepada Pengadilan Negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 (Pasal 313 PK), yakni Pengadilan Negeri yang berkedudukan di temapat tinggal si pemohon. Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat antara lain :
a.       Jumlah perincian aktiva dan pasiva dari harta bendanya beserta bukti-bukti yang diperlukan;
b.      Nama-nama kreditur beserta alamatnya, dan besar piutangnya masing-masing.
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang agar dapat dilihat oleh semua pihak yang berkepentingan[48].
2.    Setelah pengadilan negeri menerima permohonan penundaan pembayaran itu, dan mengabulkan permohonan itu untuk sementara dengan memberikan izin sementara penundaan pembayaran.[49]
Setelah pengadilan negeri mengabulkan permohonan tersebut, maka pengadilan akan mengangkat hakim Pengawas dan seorang atau lebih pengurus yang bersama-sama debitur mengurus kepentingan debitur dan krediturnya.
3.    Hakim pengadilan negeri paling lambat 45 hari melalui paniteranya akan memanggil para kreditur yang bersangkutan, debitur dan pengurus untuk diadakan sidang pada hari, jam dan tempat tertentu, untuk memusyawarahkan pihak-pihak yang bersangkutan dalam permohonan penundaan pembayaran tersebut.[50]
Dalam sidang tersebut Hakim dan pihak yang berwenang akan memutuskan perkara dikabulkan atau tidaknya permohonan penundaan pemabayaran, dengan ketentuan sebagai berikut ;[51]
a.       Permohonan penundaan pembaran utang akan dikabulkan atau ditetapkan apabila disetujui lebih dari setengah kreditour konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
b.      Permohonan penundaan pembayaran uatang tidak akan dikabulkan jika:
1)      Adanya alasan yang mengkhawatirkan bahwa debitor selama penundaan pembayaran akan mencoba merugikan kreditur-kreditrunya.
2)      Apabila tidak ada harapan bagi debitur, selama penundaan pembayaran dan setelah itu, untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
4.    Apabila keputusan hakim dalam sidang perkara ini, mengabulkan permohonan penundaan pembayaran tersebut, akan ditetapkan lamanya waktu penundaan pembayaran yaitu tidak melebehi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak diputuskannya permohonan penundaan pembayaran.[52]
D.    Akibat-akibat Adanya Penundaan Pembayaran
Adapun akibat dari adanya putusan hakim tentang penundaan pembayaran adalah:
1.      Si tertunda tetap berhak mengurus dan menguasai harta bendanya sendiri, akan tetapi perbuatan hukum yang dilakukannya yang menyangkut harta benda harus degan izin pemeliharaannya (pasal 226 PK).
2.      Si tertunda tidak boleh dipaksa untuk membayar utang-tangnya dan segala tindakan-tindakan mengenai eksekusi yang telah dimulai untuk mendapatkan perlunasan utang-utang tersebut harus ditangguhkan (pasal 228 PK)
3.      Si tertunda berhak membayar utang-utangnya, tetapi apabila dia membayar harus untuk semua kreditrnya atas dasar imbangan jumlah piutang-piutang yang bersangkutan (pasal 231 PK dan 1132 KUHPer).[53]
4.      Penyitaan barang-barang si tertunda dan paksaan badan yang diklakukan atas diri si tertunda harus dicabut (pasal 228 ayat 2 PK).

E.     Pencabutan/Pengakhiran Penundaan Pembayaran
Apabila penundaan pembayaran telah diberikan, maka permintaan pemeliharaan atau seorang kreditur ataupun hakim, penundaan pembayaran itu dapat dicabut berdasarkan pasal 240 PK :[54]
1.      Bila si tertunda selama berlangsungnya penundaan pembayaran telah berusaha melakukan perbuatan yang tidak jujur dalam melakukan pengurusan atas harta bendanya sendiri.
2.      Bila si tertunda ternyata berusaha untuk merugikan kreditur-krediturnya.
3.      Apabila si tertunda melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan pemelihara.
4.      Apabila si tertunda lupa atau lalai dalam menjalankan ketentuan-ketentuan yang diharuskan.
5.      Apabila penudaan pembayaran itu ternyata tidak berguna bagi pelunasan utang utangnya.
Dengan dicabutnya penundaan pembayaran itu, hakim dapat menetapkan si debitur dalam keadaan pailit[55], sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengakhiran atau pencabutan penundaan pembayaran hanya dapat dilakukan oleh pengadilan dalam suatu persidangan yang khusus membahas hal itu. Persidangan itu harus dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diajukan dan putusan harus telah diberikan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak selesainya pemeriksaan.[56]
3.    PERBEDAAN ANTARA KEPAILITAN DENGAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Antara kepailitan dengan penundaan pembayaran tersebut terdapat beberapa perbedaan, adapun perbedaan antara keduanya tersebut adalah:
a.    Kedudukan Tertunda
Dalam penundaan pembayaran ini, nasib tertunda yakni orang yang mendapai izin dari hakim untuk menunda pembayaran utang-utangnya tidak sejelek si pailit. Berbeda dengan si pailit yang kehilangan kecakapan berbuat terhadap harta bendanya sendiri, maka bagi si tertunda tidak kehilangan hak atas bendanya.[57]
b.    Keadaan Tertunda
Dalam kepailitan, kedudukan debitur (si pailit) sedemikian buruknya, sehingga kewenangan bertindak terhadap harta bendanya hilang. Sedangkan dalam penundaan pembayaran si tertunda masih berwenang untuk bertindak terhadap harta bendanya dan bahkan masih berhak atas harta bendanya tersebut.[58]


c.    Lembaga Pemeliharaan
Pada penundaan pembayaran, si tertunda masih cakap berbuat terhadap harta bendanya, hanya tiap tindakan yang mengenai harta bendanya harus mendapatkan izin dari seorang atau lebih yang disebut pemelihara yang diangkat oleh hakim.[59]Yang dapat menjadi pengurus adalah perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, dan mereka sudah terdaftar di Kementerian Kehakiman serta harus memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka pengurusan harta debitur.
Tugas dan tanggung jawab itu sangatlah berat, dikarenakan apabila ia lalai dan merugikan kekayaan debitur, maka ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya itu, baik secara perdata maupun pidana. Akan tetapi dibalik itu atas jasanya yang begitu besar maka ia diberikan imbalam yang ditentukan oleh Kementerian Kehakiman RI.
d.    Balai Harta Peninggalan (BHP)
Balai harta peninggalan tidak turut campur dalam persoalan penundaan pembayaran, sebagai gantinya ditetapkan oleh hakim yang tugasnya mengawasi dan mengurus setiap tindakan si tertunda mengenai harta bendanya.[60]
Apabila pengurus itu terdiri lebih dari satu orang, maka dalam melakukan tindakan si tertunda harus mendapat izin lebih dari ½ pengurus. Apabila jumlah yang setuju dan tidak setuju seimbang, maka keputusan tentang tindakan pengurus harus mendapat persetujuan hakim pengawas.
Pengurus diwajibkan membuat laporan setiap 3 (tiga) bulan sekali, tentang keadaan kekayaan debitur, dan laporan itu diserahkan kepada panitera Pengadilan agar dapat dilihat oleh pihak-pihak secara cuma-cuma.

e.    Hakim Pengawas
Dalam lembaga penundaan pembayaran keberadaan hakim pengawas masih sangat diperlukan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 214 ayat 2 UU no. 4 tahun 1998. Hakim pengawas dapat mengangkat tim ahli untuk melakukan pemerikasaan dan penyusunan laporan tentang keadaan kekayaan debitur serta rekomendasinya (pasal 224 UU No. 4 Tahun 1998). Laporan tersebut harus diserahkan atau disediakan kepada kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak.[61]
f.     Panitia Kreditur
Berkenaan dengan penundaan pembayaran hutang maka hakim harus mengangkat panitia debitur, apabila permohoanan penundaan pembayaran itu menyangkut kewajiban pembayaran hutang dalam jumlah yang besar dan bersifat rumit. Dan pengangakatan itu harus disetujui sekurang-kurangnya oleh ½ kreditur dari seluruh tagihan yang diakui.
Tugas panitia kreditur ini adalah memberikan nasihat dan rekomendasi kepada pengurus terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan yang menyangkut harta debitur.[62]

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan mengenai kasus kepailitan dan penundaan pembayaran tersebut di atas, maka kami sebagia pemakalah dapat menyimpulkan:
1.    Kepailitan
Bahwa yang dimaksud pailit itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa dalam keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh tempo. Si pailit juga dapat disebut dengan debitur yang mempunyai dua orang atau lebih kreditur dan tida mampu membayar satu atau lebih dari utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.[63]
Adapun dasar dari hukum kepailitan adalah itu diatur dalam sebuah peraturan tersendiri yaitu terdapat dalam Faillisements Verordening” 1905 No. 217 jo. Yang mengandung 279 pasal, terdiri dari 2 bab. Dan dalam kepailitan juga terdapat sebuah asas-asas yang harus diperhatikan, adapun asas-asas tersebut adalah: “Asas Keseimbangan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas Keadilan, dan Asas Integrasi”
Selain itu juga apabila seseorang ingin mengajukan pailit, maka terdapat pula syarat-syarat seseorang untuk dapat mengajukan pailit, adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Keadaan berhenti membayar, yaitu apabila seorang debitur tidak mampu atau tidak mau membayar utangnya (debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau dapat ditagih),[64]
2.      Siapakah yang dapat mengajukan kepailitan seseorang, adapun yang dapat mengajukan kepailitan seseorang adalah:
a.    Debitur sendiri, karena merasa sudah tidak mampu membayar utang-utangnya;
b.    Seorang atau beberapa orang kreditur; dan
c.    Jaksa atas dasar  kepentingan umum, misalkan kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.[65]
3.      Debitur harus mempunyai dua atau lebih kreditur.[66]
2.    Penundaan Pembayaran
Seseorang dapat mengajukan penundaan pembayaran apabila ada sesuatu atau sebab dia mengajukan penundaan pembayaran, adapun sebab-sebab adanya seseorang diperbolehkan melakukan penundaan pembayaran misalnya jatuh rugi, kebakaran, kapal tenggelam, pembekuan simpanannya di bank dan lain-lain.[67]
Selain itu antara kepailitan dan penundaaan pembayaran terdapat beberapa perbedaan, adapun perbedaan tersebut adalah dalam masalah: ”Kedudukan Tertunda, Keadaan Tertunda, Lembaga Pemeliharaan, Balai Harta Peninggalan (BHP), Hakim Pengawas, dan Panitia Kreditur.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Sumber
Hartini Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana, Januari 2009. Cet. Pertama
C. S. T. Kansil. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Oktober 2002. Cet. Pertama
Fauzan Ahmad. Perundang-undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peralihan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Kencana
Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Perwasitan dan Penundaan Pembayaran. Jakarta, 1992, Jilid 8
Fuadi Munir. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,
Redjeki Hartanto Sri. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Banyumedia Publishing. Desember 2007. Cet. Kedua
Asikin Zainal, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002. Cet. Kedua,
Asyhadie Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari 2005
Shubhah Hadi, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan). Jakarta: Kencana, Januari 2008. Cet. Pertama
Yani Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret 2002. Cet. Ketiga


Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Kepailitan
Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)











[1] Achmad Fauzan, Perundang-undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: 2005),  h. 16-17
[2] Rahayu Hartanto, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta:Kencana,Januari 2009), Cet. Pertama, h. 1
[3] Munir Fuadi, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 33-34
[4] Ibid; h. 3
[5] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 4
[6] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 71
[7] UUK PKPU No.37 Tahun 2004 telah disahkan dan diundangkan serta berlaku mulai tanggal 18 Oktober 2004, UU tersebut mencabut berlakunya Undang-undang tentang Kepailitan dan UUK No. 4 Tahun 1998, dan semua peraturan perundangan yang merupakan pelaksanaannya masih tetap berlaku sejauh tiidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini (lihat ketentuan Peralihan Pasal 305 jo. Ketentuan Penutup Pasal 307)
[8] Lihat UU No. 37 Tahun 2004 tenteng Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2
[9] Ibid; h. 72
[10] C. S. T. Kansil, Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 169
[11] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 27
[12] Rahayu Hartanti, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 9-14
[13] Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8, Cet. Ketiga, 1992, h. 29
[14] Ibid; h. 67
[15] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 72
[16] Ibid; h. 73
[17] Sri Redjeki Hartono, dalam Rahayu Hartini, Hukim Kepailitan, (Malang: Bayu Media), 2003, h. 10-11
[18] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 75
[19] Lebih lanjut lihat Penjelasan UUK PKPU No. 37 Tahun 2004
[20] Ibid; h. 75-76
[21] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 35
[22] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 169-170
[23] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 76
[24] Ibid; h. 77
[25] Rahayu Hartanti, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 36-37
[26] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret 2002), Cet. Ketiga, h. 12
[27] Lihat PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UUK No. 4 Tahun 1998 Pasal 2 ayat (1)
[28] Lihat UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 2 ayat (1)-(5)
[29] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 170
[30] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret 2002), Cet. Ketiga, h. 16
[31] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 93
[32] Ibid; h. 170
[33] Sri Redjeki Hartono, Hukm Ekonomi Indonesia, (Malang: Banyumedia Publishing, Desember 2007), Cet. Pertama, h. 178-179
[34] Lihat Pasal 284 ayat (1) UUK No. 4 Tahun 1998 dan penjelasannya
[35] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 101
[36] Dalam UUK No. 4 Tahun 1998 ketentuan tentang Pengadilan niaga diatur secara khusus  di dalam bab tersendiri yaitu pada bab ketiga muali dari pasal 280-289. Ketentuan ini merupakan hal yang baru pertama kali diatur dalam peraturan kepailitan , karena ketika itu penyelesaian pailit di pengailn negeri dengan mendasarkan pada hukum acara perdata biasa  yakni HIR maupun R. Bg, kemudian dalam  UUK PKPU yang baru yakni  UUK No. 37 Tahun 2004 pengaturan tentang pengailan niaga dimasukkan dalam Bab V: Ketentuan lain-lain mulai Pasal 299-302 dan juga menyebar di berbagai pasal lainnya serta penyebutannya cukup denga kata-kata “ Pengailan” saja tanpa ada  kata “Niaga” karena hal ini merujuk ketentuan Pasal 1 poin (7) UUK PKPU bahwa: “Pengadilan” adalah “Pengadilan Niaga” dalam lingkungan peradilan umum
[37] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 103
[38] Ibid; h. 105
[39] Rahayu Hartanti, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2006), Edisi Revisi, h. 85
[40] Hadi Shubhah, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan), (Jakarta: Kencana, Januari 2008), Cet. Pertama, h. 162
[41] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 53

[42] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari 2005), h. 236
[43] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h 54
[44] Ibid; h. 111-112
[45] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 113
[46] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari 2005), h. 239
[47] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 94

[48] Lebih jelas dan terperinci lihat Pasal 214 PK
[49] Penenundan dimaksud diatas muali berlaku sejak keluarnya izin sementara penundaan pembayaran.
[50] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 109
[51]  Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari 2005), h. 242-243
[52] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 110
[53] Lebih jelasnya lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
[54] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 176
[55] Pasal 240 ayat 5 PK
[56] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 111
[57] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 174
[58] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 103
[59] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 174
[60] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 104
[61] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 174
[62] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 105 - 106
[63] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Februari 2005), h. 225
[64] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Juli 2002), Cet. Kedua, h. 35
[65] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 169-170
[66] Rahayu Hartanti, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase), (Jakarta: Kencana, Januari 2009), Cet. Pertama, h. 76
[67] C. S. T. Kansil, (Ponkok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, Oktober 2002), Cet. Pertama, h. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar